Mengenal Kutu Manusia Lebih Dekat

Mengenal Kutu Manusia Lebih Dekat
08
Senin, 8 Juli 2024

Kutu manusia memiliki nama ilmiah Pulex irritans Linnaeus. Bukan tanpa sebab kutu ini disebut sebagai kutu manusia. Spesies kutu ini sangat berkaitan erat dengan manusia serta hewan-hewan peliharaan yang erat kaitannya dengan manusia. Keberadaan kutu ini sering pula dihubungkan dengan rasa gatal-gatal yang tak tertahankan. Mengapa demikian? Mari kita telusuri lebih lanjut!

Persebaran

Kutu manusia merupakan hewan kosmopolitan yang sudah memiliki hubungan erat dengan manusia, ditandai dengan adanya bukti keberadaan kutu ini pada sedimen arkeologis manusia yang pernah ditemukan di wilayah Eropa dan Greenland.

Kutu ini sangat melimpah di area-area dimana inangnya berada, terkhusus inang dari kelas mamalia. Berdasarkan informasi dari The Global Biodiversity Information Facility (GBIF 2021), terdapat lebih dari 1000 hasil dari spesies ini yang berada dalam rentang 1960-2020, dengan laporan terbanyak menemukan bahwa kutu ini sering berada di area-area temperata. Laporan paling sedikit ditemukan di Asia, sementara itu, di Eropa bagian utara dan tengah, persebaran dari kutu ini terlihat memiliki pola seperti klaster.

Siklus Hidup dan Morfologi

Kutu manusia melalui tahapan metamorfosis holometabola. Artinya, kutu ini melalui tahapan siklus hidup dimulai dari telur, larva, pupa, hingga dewasa.

Telur dari kutu manusia berukuran kecil, berwarna putih mutiara, memiliki diameter sekitar 0.5 m, dan secara morfologi tampilannya sama dengan kutu-kutu lainnya. Oleh karena itu, biasanya telur tidak dijadikan sebagai bahan untuk kunci identifikasi.

Pada suhu 25°C, telur Pulex irritans berkembang dalam kurun waktu 4-10 hari, bergantung pada suhu dan kelembapan lingkungan. Suhu yang lebih hangat dan kelembapan yang lebih tinggi dapat memendekkan waktu perkembangan.

Larva Pulex irritans memanjang dan memiliki 13 segmen serta sepasang kait pada bagian posteriornya. Warnanya putih atau cokelat pucat dan larva ini hampir seperti tidak memiliki kaki. Larva kutu ini memiliki beberapa setae kecil di bagian tubuhnya dan memiliki kepala yang mengalami proses sklerotisasi. Artinya, bagian kepala larva ini mengeras dan bentuknya seperti helm. Fase larva tergolong aktif bergerak.

Gambar 1. Siklus hidup Pulex irritans

Ada tiga kali pergantian kulit yang dialami oleh larva kutu ini. Larva-larva ini memakan sisa buangan atau kotoran yang kaya akan darah. Rata-rata waktu perkembangan larva adalah 11 hari.

Sementara itu, bagian pupa tergolong inaktif dan terbungkus bahan kepompong seperti sutra (silk) yang longgar. Bahan ini pada mulanya lengket dan tidak longgar, dan karakter ini memungkinkan debris-debris dari lingkungan melekat pada permukaan pupa dan memberi keuntungan kamuflase.

Pupa dari Pulex irritans akan berada dalam fase dorman selama kurang lebih 1 minggu sebelum berubah menjadi dewasa. Akan tetapi, pada kondisi yang sangat dingin, pupa dapat berada dalam fase dorman mencapai 300 hari.

Pada tahap dewasa, kutu manusia jantan memiliki panjang sekitar 2-3 mm dan betina sekitar 2.5-3.5 mm. Baik jantan ataupun betina sama-sama memiliki warna cokelat muda. Bentuk tubuh dari kutu ini tampak seperti “gepeng” dan hal ini memudahkan mereka untuk berpindah tempat, terutama di antara rambut-rambut tebal pada inang.

Gambar 2. Tampak samping Pulex irritans dewasa betina (kiri) dan jantan (kanan)

Siklus perkembangan hidup kutu manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan, dengan perkembangan dari telur hingga dewasa memakan waktu sekitar 63-77 hari. Reproduksi terjadi ketika kutu jantan melakukan kontak dengan betina melalui bagian palpus maksilari (palpus di bagian rahang atas) sebagai sarana identifikasi.

Segera setelah dikenali, jantan akan mencengkeram betina dan memposisikan dirinya untuk memungkinkan inseminasi terjadi. Bagian spermateka akan menerima, menyimpan, dan melepaskan sperma untuk melakukan pembuahan pada sel telur betina. Dalam periode 196 hari, sebanyak 448 telur dapat diproduksi.

Dampak Medis

Pulex irritans memiliki beberapa potensi sebagai vektor potensial pada beberapa patogen penyakit. Gigitan dari kutu ini dapat menyebabkan papula merah (red papules) dan dermatitis. Gigitan ini juga berpotensi menyebabkan infeksi patogen.

Salah satu penyakit yang memiliki hubungan dengan kutu ini adalah penyakit murine typhus atau flea-borne typhus yang disebabkan oleh bakteri Rickettsia typhii. Beberapa nama lain dari penyakit ini adalah tifus endemik, tifus tikus, tifus Meksiko, dan tifus urban.

Bakteri ini dapat ditransmisikan ke manusia melalui feses kutu yang terinfeksi dengan patogen dan dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui garukan di bagian kulit yang terbuka serta di bagian membran mukus.

Gejala yang timbul dari penyakit ini seperti flu (demam, menggigil, mual muntah, dan batuk). Jika tidak ditangani lebih lanjut dapat menyebabkan morbiditas berkepanjangan hingga gagal organ.

Selain itu, P. Irritans dapat menjadi inang perantara yang penting terhadap cacing pita double-pored spesies Dipylidium caninum. Semua dimulai dari larva kutu mengonsumsi telur dari parasit ini. Ketika telur mulai “matang” dan masuk ke tahap infektif, kutu dewasa dan mentransmisikan cacing pita ini ke manusia.

Kondisi penyakit yang ditimbulkan disebut sebagai dipylidiasis. Hampir sebagian besar infeksi cacing ini terbilang langka dan bersifat asimtomatik atau tidak menimbulkan gejala. Pengobatannya dapat melalui Praziquantel dan obat-obatan cacing lainnya.

Manajemen Pengendalian

Manajemen pengendalian dari kutu ini membutuhkan kontrol atas seluruh tahap kehidupan kutu. Kutu ini suka tinggal di sarang, liang kecil, dan celah atau retakan di rumah manusia yang sukar untuk diakses. Oleh karena itu, strategi pengendalian harus mampu mencapai area-area tersebut 

Jika di rumah ada hewan peliharaan, penting untuk memastikan bahwa kucing dan anjing di rumah dirawat sebaik mungkin untuk mengurangi potensi keberadaan kutu ini. Beberapa upaya yang dapat dilakukan antara lain melakukan vakum pada karpet, pembersihan tempat tidur dan furnitur, hingga tali ikatan pada hewan peliharaan. Pada lingkungan dengan hama mamalia kecil urban atau pada populasi liar, pengendalian dapat dilakukan dengan perangkap hewan-hewan inang tersebut. 

Tidak ada satu strategi khusus untuk pengendalian kutu ini, dan beberapa percobaan pengendalian umumnya bersifat sementara. Penyemprotan residual dengan piretroid atau IGR (Insect Growth Regulators) mungkin dapat berguna, namun hal ini berpotensi memunculkan masalah baru berupa resistensi. 

Ada beberapa laporan strategi biokontrol untuk kutu ini dengan menggunakan jamur entomopatogenik seperti Beauveria bassiana atau menggunakan spesies nematoda tertentu seperti Steinernema feltiae. 

Demikian informasi terkait kutu manusia. Semoga bermanfaat, ya!

Untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi kami melalui +62 821-1825-0931.

REFERENSI

Benton HA. 1980. An atlas of the fleas of the eastern United States. Fredonia, New York, 177 p.

Boase C, Kocisova A, Rettich F. 2014. Fleas and flea management. In P. Dhang, Urban Insect Pests: Sustainable Management Strategies. CABI, Oxfordshire, UK. Pp. 86-98.

Buckland PC, Sadler JP. 1989. A biogeography of the human flea, Pulex irritans L. (Siphonaptera: Pulicidae). Journal of Biogeography 16: 115-120.

Cabello RR, Ruiz AC, Feregrino RR, Romero LC, Feregrino RR, Zavala JT. 2011. Dipylidium caninum infection. BMJ Case Reports 15: doi: 10.1136/bcr.07.2011.4510.

CDC (Centers for Disease Control and Prevention). 2019. Dipylidium caninum. https://www.cdc.gov/dpdx/dipylidium/index.html. (09 November 2021).

CDC (Centers for Disease Control and Prevention). 2020. Flea-borne (murine) typhus. https://www.cdc.gov/typhus/murine/index.html. (09 November 2021).

Christodoulopoulos G, Theodoropoulos G, Kominakis A, Theis JH. 2006. Biological, seasonal and environmental factors associated with Pulex irritans infestation of dairy goats in Greece. Veterinary Parasitology 137: 137-143.

Cross CL, Williams JL, Lucky A. 2021. Oriental rat flea Xenopsylla cheopis (Rothschild, 1903) (Insecta: Siphonaptera: Pulicidae). EDIS Publication EENY-775. https://doi.org/10.32473/edis-IN1330-2021. (01 November 2021)

Durden LA, Wilson N, Eckerlin RP, Baker WW. The flea (Siphonaptera) fauna of Georgia, U.S.A.: hosts, distribution and medical-veterinary importance. Annals of the Carnegie Museum 80:83-113.

Eads DA, Biggins DE, Antolin MF, Long DH, Huyvaert KP, Gage KL. 2015. Prevalence of the generalist flea Pulex simulans on black-tailed prairie dogs (Cynomys ludovicianus) in New Mexico, USA: the importance of considering imperfect detection. Journal of Wildlife Diseases 5:498-502.

KONSULTASI DENGAH AHLI HAMA