Jamur Entomopatogen (EPF) dalam Pengendalian Hama

Jamur Entomopatogen (EPF) dalam Pengendalian Hama
28
Rabu, 28 Agustus 2024

Jamur entomopatogen pada serangga pertama kali ditemukan pada tahun 1835 oleh Agostino Bassi yang mengidentifikasi jamur penyebab penyakit muscardine putih pada serangga dan menamakannya Beauveria bassiana.

Beberapa waktu setelahnya, Elias Metschnikoff menemukan jamur lain yang juga dapat menginfeksi serangga, Metarhizium anisopliae, yang menyebabkan penyakit muscardine hijau.

Pada akhir abad ke-19, dengan karya terobosan Louis Pasteur di bidang mikrobiologi, eksperimen dengan jamur sebagai agen pengendali mikroba potensial dimulai. Namun, meluasnya penggunaan insektisida kimia memperlambat adopsi jamur dalam pengendalian hama. Perkembangan Bacillus thuringiensis sebagai insektisida juga mengalihkan perhatian dari penelitian jamur.

Dalam beberapa tahun terakhir, muncul kembali trend penelitian terhadap jamur entomopatogen (EPF) karena kekhawatiran lingkungan mengenai pestisida kimia sintetis.

Kemajuan dalam biologi molekuler dan sequencing DNA telah menambah informasi dan pemahaman tentang interaksi antara tumbuhan, jamur, dan serangga. Hal ini menyebabkan meningkatnya penelitian mengenai peran EPF dalam berbagai aspek, termasuk kemampuannya menyerang penyakit tanaman, meningkatkan pertumbuhan tanaman, meningkatkan kesehatan tanah sekaligus sebagai pengendalian hama.

Meskipun EPF terutama digunakan sebagai biopestisida terhadap serangga, potensinya dalam mengendalikan arthropoda dan penyakit tanaman, berperan sebagai endofit yang ditularkan secara vertikal, dan bertindak sebagai pupuk hayati, semakin terlihat.

Mekanisme Infeksi

Spora jamur menginfeksi serangga dengan menempel pada kutikula luarnya, tempat mereka berkecambah dan menembus kutikula menggunakan enzim dan tekanan mekanis. Begitu berada di dalam hemolimfa serangga, jamur memproduksi spora yang disebut blastospora dan menyebarkannya ke seluruh tubuh serangga.

Jamur tersebut membunuh serangga dengan menghabiskan nutrisi, melepaskan racun, mengganggu sistem peredaran darah, dan merusak organ. Setelah serangga mati, jamur dapat memasuki mode inaktif hingga kondisi mendukung sporulasi, yang memungkinkan spora baru tersebar ke lingkungan.

Tingkat kematian akibat infeksi jamur bervariasi berdasarkan jenis jamur, interaksi inang-patogen, dan faktor-faktor lain seperti perilaku serangga, kepadatan populasi, dan kerentanan.

Serangga lebih rentan terhadap infeksi ketika kekurangan nutrisi, terpapar pestisida, atau stres. Kondisi lingkungan, seperti suhu dan kelembaban, juga mempengaruhi virulensi jamur, seperti Beauveria bassiana yang mampu mentoleransi cakupan suhu yang luas, sementara spesies lainnya memiliki toleransi yang lebih spesifik.

Interaksi dengan Tanaman

Jamur entomopatogen (EPF) memiliki berbagai peran selain mengontrol hama melalui epizootik. Mereka berperan sebagai endofit yang hidup dalam jaringan internal tanaman dan rizosfer.

EPF dapat meningkatkan laju pertumbuhan tanaman, meningkatkan kebugaran tanaman, dan meningkatkan toleransi terhadap cekaman lingkungan seperti kekeringan. EPF juga dapat berperan sebagai pupuk alami.

EPF memiliki sifat antagonis terhadap patogen tanaman, dengan bersaing untuk nutrisi penting dan menginduksi resistensi sistemik pada tanaman. Contohnya, B. bassiana telah terbukti meningkatkan ketahanan pada kapas terhadap Xanthomonas axonopodis pv. malvacearum. B. bassiana terkenal dapat berkolaborasi dengan berbagai tanaman inang, dan juga penambahan tanaman inang untuk endofit jamur lain terus berkembang.

Potensi jamur entomopatogen dalam mengurangi kerusakan akibat herbivora pada tanaman telah dieksplorasi secara ekstensif, memberikan hasil yang sangat menjanjikan.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa B. bassiana mampu berhasil mengkolonisasi tanaman dan secara efektif dan membatasi kerusakan yang disebabkan oleh berbagai hama, seperti Ostrinia nubilalis dan Sesamia calamistis pada jagung, Tuta absoluta pada tomat di Amerika Selatan, Helicoverpa zea dan Helicoverpa armigera pada tomat, Cosmopolites sordidus pada pisang, dan beberapa jenis hama lainnya.

Keberadaan EPF di tanah bergantung pada faktor-faktor seperti jenis tanah, spesies tanaman, dan metode pertanian/penanaman. Tanah memberikan perlindungan bagi EPF terhadap faktor-faktor seperti sinar UV, suhu tinggi, dan faktor biotik dan abiotik lainnya yang mungkin menghambat penyebarannya.

Fakta bahwa EPF merupakan mikroorganisme alami di berbagai lingkungan menunjukkan bahwa mereka tidak menimbulkan ancaman terhadap lingkungan.

Meskipun jamur entomopatogen membutuhkan waktu lebih lama untuk membunuh serangga dibandingkan dengan pestisida kimia, toksisitas EPF terhadap mamalia rendah. Hal ini menjadikannya ramah lingkungan sehingga semakin menarik dalam konteks Pengendalian Hama Terpadu (PHT).

EPF dianggap efektif jika berhasil mengendalikan populasi hama dan membatasi kerusakan pada tanaman tanpa merusak tanaman. EPF dapat bertahan di lingkungan karena dapat berkembang pada serangga yang sudah mati. Hal tersebut (mempertahankan populasi pada lingkungan) merupakan sifat yang menguntungkan dari EPF, berbeda dengan persistensi residu senyawa kimia yang ada di lingkungan.

Integrasi dalam Pengendalian Hama Terpadu

Saat ini, hanya beberapa spesies jamur, seperti Beauveria, Metarhizium, Lecanicillium, dan Isaria, yang sudah dijual secara komersial sebagai biopestisida.

Pemahaman yang lebih mendalam mengenai ekologi dapat menghasilkan penerapan biopestisida yang lebih efisien dan beragam.

Hal ini termasuk mengidentifikasi bagaimana jamur ini berinteraksi dengan mikroorganisme lain yang menjadi musuh alami arthropoda, serta dengan tanaman dan senyawa kimia.

Pada infeksi campuran, satu entomopatogen dapat mempengaruhi efektivitas yang lain, dan  sering kali menghasilkan efek sinergis. Penelitian telah mengeksplorasi kombinasi entomopatogen jamur dengan agen insektisida lain, seperti bakteri, virus, nematoda, dan tanah diatom. Sebagian besar penelitian tersebut menunjukkan interaksi positif antara agen-agen ini untuk pengendalian serangga yang lebih baik.

Selain itu, di masa depan, penelitian perlu berfokus pada identifikasi strain atau isolat jamur yang paling cocok untuk tanaman inang yang lebih spesifik.

Variabilitas dalam tingkat endofitisme dan tingkat kolonisasi jamur di dalam tanaman menjadi perhatian untuk mempelajari lebih jauh tentang kompatibilitas antara agen jamur dan inangnya, serta persistensinya pada tanaman.

Nah, demikian ulasan singkat terkait Jamur Entomopatogen (EPF) dalam Pengendalian Hama. Semoga bermanfaat ya!

Author: Saila Rachma

REFERENSI

Mantzoukas, S., Kitsiou, F., Natsiopoulos, D., & Eliopoulos, P. A. (2022). Entomopathogenic fungi: interactions and applications. Encyclopedia, 2(2), 646-656.

Bamisile, B.S.; Siddiqui, J.A.; Akutse, K.S.; Aguila, L.C.R.; Xu, Y. General limitations to endophytic entomopathogenic fungi use as plant growth promoters, pests and pathogens biocontrol agents. Plants 2021, 10, 2119

Rehner, S.A.; Vega, F.E.; Blackwell, M. Phylogenetics and Insect Pathogenic Genus Beauveria. In Insect–Fungal Associations: Ecology and Evolution; Oxford University Press, Inc.: New York, NY, USA, 2005; pp. 3–25.

KONSULTASI DENGAN AHLI HAMA