Kampanye Empat Hama: Upaya Pengendalian yang Berubah menjadi Bencana Kemanusiaan

Kampanye Empat Hama: Upaya Pengendalian yang Berubah menjadi Bencana Kemanusiaan
30
Selasa, 30 April 2024

Kampanye Empat Hama adalah kampanye pemusnahan yang diluncurkan oleh Mao Zedong pada tahun 1958 di Republik Rakyat Tiongkok.

Pada saat itu Mao Zedong baru saja diangkat menjadi pemimpin tertinggi pada tahun 1949. Sejak meraih tampuk kepemimpinan, Mao sudah memiliki agenda ambisius untuk membuat China menjadi negara yang kuat melalui agenda-agenda industrialisasi dan pembangunan infrastruktur di dalam negeri.

Kegiatan-kegiatan itu kemudian tertuang ke dalam program pembangunannya selama 5 tahun yang dikenal dengan nama The Great Leap Forward atau “Lompatan Jauh Ke Depan”.

Tujuannya? Tentu untuk membuat China “melompat jauh ke depan”, mengejar dan melampaui kemajuan negara-negara Barat yang telah dan akan menjadi rival abadi.

Mao Zedong memiliki keinginan yang kuat untuk mengubah China menjadi sebuah kekuatan adidaya, bahkan jika perlu, menjadi kiblat perekonomian bagi seluruh dunia.

Akan tetapi, hasrat besar seorang Mao berpotensi pupus dalam sekejap karena kondisi China yang saat itu tengah dilanda krisis kesehatan yang hebat. Infeksi serta wabah penyakit menular seperti kolera, malaria, dan pes tersebar hampir di seluruh penjuru negeri.

Bagaimana mungkin China dapat “melompat jauh ke depan” jika para rakyat tidak berada dalam kondisi yang sehat dan prima? demikian pikir Mao saat itu.

Munculnya Gagasan Pembantaian

Munculnya Gagasan Pembantaian

Foto: Mao Zedong (keempat dari kiri) sedang memproklamasikan berdirinya Republik China pada tanggal 1 Oktober 1949

Akhirnya, pada bulan Desember 1958, Mao merumuskan "Konstitusi Delapan Unsur” yang digadang-gadang dapat membereskan masalah krisis itu. Delapan metode yang tertuang di dalam konstitusi itu dianggap ilmiah dan dapat diterapkan sesegera mungkin demi mewujudkan utopia sosialis yang diidam-idamkan.

Kebersihan dan higienisitas menjadi poin esensial dalam perumusan itu, memicu lahirnya program The Four Pest Campaign atau Kampanye Empat Hama.

Di dalam kampanye itu, Mao dengan otoriter memerintahkan seluruh rakyatnya untuk membunuh sebanyak-banyaknya empat jenis hewan yang dianggap sebagai hama pengganggu serta pembawa penyakit.

Tiga di antara hewan target itu adalah nyamuk, tikus, dan lalat yang dikenal membawa penyakit. Selama ratusan tahun, sejarah peradaban manusia selalu diwarnai oleh penyebaran penyakit mematikan yang berasal dari ketiga binatang tersebut dan telah menyebabkan jutaan kematian manusia di berbagai belahan dunia.

Mungkin saja, China tidak akan menghadapi masalah besar jika tiga hewan tersebut yang dieliminasi. Namun, Mao Zedong merasa masih ada satu lagi yang harus dibantai, dan hewan itu adalah burung gereja.

Burung Gereja sebagai Target Hama

Burung Gereja sebagai Target Hama

Foto: Burung gereja yang menjadi salah satu hama target dalam Kampanye Empat Hama

Mao menganggap burung gereja sebagai “binatang kapitalis” dan harus dimusnahkan. Perilaku burung gereja yang sering memakan banyak biji gandum dan buah-buahan dianggap sebagai sebuah perampokan. Mao ingin apa yang dimakan oleh burung gereja ini – terutama biji-bijian – hanya boleh dimakan oleh rakyatnya saja.

Menurut Partai Komunis Tiongkok, setiap tahunnya, seekor burung gereja memakan 4,5 kilogram biji dan biji-bijian. Mereka menghitung bahwa jika satu juta burung gereja bisa dibunuh, maka ada 60.000 orang yang bisa diberi makan.

Pembersihan massal keempat hewan itu tentunya membutuhkan mobilisasi besar-besaran dari rakyat China. “Ren ding sheng tian” yang berarti “manusia harus menaklukkan alam” menjadi slogan perjuangan yang diserukan berkali-kali. Mao tengah berada dalam upayanya untuk menundukkan alam demi ambisi utopia sosialisnya.

Kampanye Empat Hama Dimulai

Kampanye Empat Hama Dimulai

Foto: Beberapa poster propaganda Kampanye Empat Hama

Kampanye Empat Hama pun dimulai pada tahun 1958. Rakyat China dengan sangat antusias dan sukarela berpartisipasi. Poster propaganda dipajang di mana-mana. Semua orang dari berbagai usia berlomba-lomba membunuh keempat hewan yang masuk di dalam target.

Anak-anak kecil diajarkan cara menembak burung gereja dengan ketapel hingga senapan. Khusus untuk burung gereja, mereka juga mencari sarangnya di pepohonan untuk dirusak dengan berbagai macam cara. Tak terkecuali telur dan anakan yang ada di sarang itu. Semuanya mereka hancurkan tanpa sisa.

Dari semua metode, cara yang paling tidak biasa adalah orang-orang “mengejar” burung gereja kemana pun ia terbang sembari membuat banyak suara-suara keras dengan berbagai alat. Para ibu rumah tangga memukulkan panci-panci yang ada di dapur rumah mereka, beberapa lainnya menggunakan drum ataupun gendang.

Tujuannya? Menakuti burung gereja agar tidak dapat hinggap untuk beristirahat dan memaksanya terbang kembali. Hal ini berdampak pada burung gereja yang harus terbang terus-menerus sampai mengalami kelelahan ekstrem. Pada akhirnya, banyak burung gereja yang tak sanggup lagi untuk terbang, lalu jatuh dari langit, dan mati.

Akibatnya, dalam kurun waktu yang singkat, spesies burung gereja yang sebelumnya sangat melimpah menjadi hampir punah di wilayah negeri China. Di Shanghai saja, diperkirakan ada 200.000 burung gereja yang mati di hari pertama Kampanye Empat Hama.

"Tidak ada prajurit yang boleh mundur, sampai pertarungan dimenangkan," tulis harian People's Daily. Pertarungan pun “berhasil” dimenangkan. Diperkirakan ada jutaan ekor burung gereja yang mati karena kampanye ini, beserta jutaan ketiga hama lainnya yang masuk di dalam daftar.

Terdapat Bencana yang Datang

Terdapat Bencana yang Datang

Foto: Seorang pria China sedang melepaskan burung-burung gereja yang terjerat perangkapnya

Mao tidak tahu – atau mungkin tidak peduli – dengan fakta bahwa burung gereja pada dasarnya membantu kehidupan manusia secara tidak langsung. Burung gereja bukanlah hewan kapitalis yang pekerjaannya hanya mencuri biji-bijian gandum milik rakyatnya.

Selain biji-bijian, burung gereja juga memakan serangga, khususnya belalang. Saat populasi burung gereja menukik drastis, maka tidak ada lagi predator yang memangsa belalang.

Para belalang dari berbagai spesies akhirnya hidup merdeka. Mereka hidup sejahtera, beranak-pinak dengan kecepatan tinggi, dan terjadilah ledakan populasi yang tak terkendali.

Mao tidak tahu, ledakan populasi belalang ternyata dapat menghancurkan seluruh area sawah dan ladang tanpa sisa. Dampak ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan “pencurian” biji-bijian yang dilakukan oleh burung gereja.

Hancurnya area pertanian membuat jutaan petani gagal panen dan jutaan periuk di seluruh penjuru negeri kosong melompong. Pemandangan asap dapur yang mengebul di masa itu menjadi sesuatu yang langka. Bencana kelaparan menjadi tidak terelakkan.

Katastrofi

Katastrofi

Foto: Dokumentasi bencana kelaparan yang terjadi pasca Kampanye Empat Hama

Atas saran dari seorang ornitologis yaitu Tso-hsin Cheng, akhirnya Mao menghentikan praktik perburuan burung gereja. Cheng sebenarnya sudah memperingatkan bahaya yang akan timbul dari Kampanye Empat Hama, namun Mao tidak mendengarkannya sama sekali saat itu.

Akan tetapi, setelah program dihentikan, populasi hama belalang tidak serta-merta langsung menurun. Bobroknya sistem manajemen agrikultur yang diterapkan Partai Komunis China dan datangnya masa kekeringan membuat situasi semakin runyam. Krisis pangan pun semakin menjadi-jadi.

Wabah kelaparan paling buruk dalam sejarah umat manusia pun tidak dapat terelakkan. Tragedi ini kemudian dikenal dengan nama The Great Famine.

Cerita pilu mengenai kelaparan massal dimulai. Puluhan juta orang kehabisan bahan makanan dan meninggal dunia. Jumlah korban meninggal, menurut sumber resmi Pemerintah China, sekitar 15 juta orang. Para sejarawan tidak satu suara perihal jumlah orang yang meninggal dunia akibat bencana kelaparan dahsyat ini.

Dalam buku Tombstone karya jurnalis Tiongkok, Yang Jisheng, diperkirakan wabah kelaparan besar tersebut menyebabkan tewasnya 36 juta orang. Buku tersebut kemudian langsung dilarang beredar di China.

Frank Dikötter, seorang sejarawan Belanda menyatakan dalam bukunya The Great Famine in Mao's China bahwa "setidaknya 45 juta orang mati sia-sia antara 1958 dan 1962”. Sumber yang lain menyatakan bahwa jumlahnya jauh lebih banyak, 50 -78 juta jiwa.

The Great Famine tetap menjadi topik yang tabu dibicarakan di Tiongkok hingga saat ini. Selain menjadi aib Mao yang dikenal sebagai The Founding Father republik China, salah satu alasan lainnya adalah adanya praktik kanibalisme yang terjadi di masa itu karena langkanya bahan pangan.

Peristiwa ini tentunya menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi generasi kita di masa kini. Hama memang mengganggu dan merugikan, oleh karenanya perlu dikendalikan. Namun, pengendalian bukan berarti pembantaian.

Tentu harus ada dasar-dasar ilmu serta kaidah keseimbangan alam yang patut diperhatikan secara detail. Jangan sampai sejarah kelam bencana kelaparan di masa Mao Zedong terulang lagi di masa depan.

Demikian informasi mengenai Kampanye Empat Hama.

Apabila sedang mencari perusahaan pengendalian hama berlisensi, Ahli Hama dapat dipilih sebagai lembaga independen yang terpercaya.

Di sini menyediakan berbagai jenis layanan training, mencakup:

  1. Basic Pest Management Training (BPT)
  2. Advanced Pest Management Training (APT)
  3. Pest Control Mentoring (PCM)
  4. In House Training

Selain itu, adapun konsultan manajemen hama dan sertifikasi bebas hama untuk penilaian keberadaan hama.

Untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi kami melalui +62 821-1625-0931

Semoga ulasan di atas dapat bermanfaat ya.

Oleh: A S Zuhri

REFERENSI

·         Smil V. (1999). China's great famine: 40 years later. BMJ (Clinical research ed.), 319(7225), 1619–1621. https://doi.org/10.1136/bmj.319.7225.1619

·         Dikötter, F. (2010). Mao's Great Famine: The History of China's Most Devastating Catastrophe, 1958-1962. Bloomsbury Publishing.

·         Jisheng, Y. (2008). Tombstone: The Great Chinese Famine, 1958-1962. Farrar, Straus and Giroux.

 

 

 

 

 

 

 

 

KONSULTASI DENGAN AHLI HAMA