Chlorpyrifos (CPF) adalah pestisida dari golongan organofosfat yang banyak digunakan di bidang pertanian, rumah tangga, dan lingkungan untuk mengendalikan berbagai hama. CPF telah diterapkan untuk memerangi hama penggigit, penghisap pada berbagai tanaman (hama pertanian) dan rumah tangga (hama urban seperti: lalat, kecoa, dan semut). Senyawa ini dapat bekerja melalui kontak, ingestion, dan inhalasi. CPF telah terdeteksi di tanah, air, dan air, mempengaruhi ekosistem dan spesies non-target. Hal ini dapat mengganggu mikroflora tanah, menghambat fiksasi nitrogen, dan berkontribusi pada pembentukan oksigen reaktif. Paparan CPF dapat menyebabkan masalah kesehatan, khususnya mempengaruhi sistem saraf, kardiovaskular, dan pernapasan (1).
Umumnya, manusia menghadapi CPF hampir setiap hari karena penggunaannya yang luas di rumah tangga, biasanya untuk mengendalikan hama seperti lalat, kecoa, dan semut. Paparan CPF dalam waktu lama dapat menyebabkan beragam masalah kesehatan. Residu CPF dan produk sampingannya dapat dideteksi pada jaringan manusia dan sampel urin, terlepas dari apakah seseorang bekerja di bidang pertanian atau tidak. Karena risiko toksikologinya, penggunaan CPF telah dibatasi atau dilarang di beberapa negara, termasuk Uni Eropa. Namun, obat ini masih digunakan di beberapa bagian dunia, sehingga memerlukan pemantauan dan penelitian terus menerus mengenai efek jangka panjangnya (1).
Mode of action Klorpirifos (CPF) bekerja melalui penghambatan aktivitas asetilkolinesterase (AChE). CPF menghambat AChE, suatu enzim yang penting untuk berfungsinya sistem saraf pada hama dan dapat berdampak juga pada manusia. Mekanisme toksisitas CPF yaitu kemampuannya untuk menghambat aktivitas AChE dalam jaringan secara permanen. Hal ini menyebabkan akumulasi asetilkolin, kelebihan AChE yang terus menerus mengaktifkan reseptor asetilkolin, berdampak pada fungsi sistem saraf somatik dan otonom. Namun demikian, sebuah penelitian menunjukkan bahwa penghambatan AChE saja tidak menyebabkan semua gejala keracunan CPF, karena paparan CPF juga dapat mempengaruhi sistem lain, termasuk sistem hematologi, sistem imun, dan reproduksi (1).
Klorpirifos (CPF) dikaitkan dengan berbagai risiko kesehatan pada manusia, seperti (1):
Neurotoksisitas: CPF menghambat aktivitas asetilkolinesterase (AChE), suatu enzim penting untuk sistem saraf, yang berpotensi mengubah kondisi biokimia dan fisiologis normal. Paparan CPF telah dikaitkan dengan neurotoksisitas perkembangan, yang dapat mempengaruhi perkembangan dan fungsi otak. Penelitian telah menunjukkan bahwa paparan CPF sub-toksik pada organisme dapat menyebabkan perubahan perilaku dan defisit kognitif, seperti penurunan kemampuan belajar dan menghafal.
Toksisitas Reproduksi: Paparan CPF dapat menyebabkan masalah kesehatan reproduksi. mempengaruhi kualitas sperma dan berpotensi menyebabkan penurunan kinerja reproduksi. Dalam penelitian pada hewan, CPF dosis tinggi telah terbukti mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan keturunan.
Genotoksisitas: CPF dan metabolitnya telah dikaitkan dengan efek genotoksik, yang dapat menyebabkan kerusakan DNA. Hal ini dapat mengacaukan urutan kromosom non-homolog yang dapat memicu neoplasma dan meningkatkan risiko penyakit seperti leukemia limfoblastik akut pada anak-anak yang terpapar CPF melalui paparan ibu.
Oleh karena itu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan peringatan tahunan bahwa sekitar 2,5 juta orang di seluruh dunia mengalami keracunan pestisida akut, yang mengakibatkan 0,2 juta kematian. Pestisida organofosfat, yang bertanggung jawab atas lebih dari separuh residu pestisida yang terdeteksi, menimbulkan bahaya yang signifikan. Terutama, tiga kelompok—pekerja produksi bahan kimia, petani, dan konsumen yang kurang mendapatkan informasi—terkena Klorpirifos (CPF). The European Commission (EC) mengawasi persetujuan pestisida, dan mulai 16 Januari 2020, peraturan (No 18/2020 dan 2020/17) menyebabkan penghentian CPF. Meskipun dilarang di UE sejak 1 April 2020, terdapat indikasi penggunaan CPF yang sedang berlangsung di India untuk mengendalikan belalang gurun. Mesir melarang penggunaan CPF pada tanaman pada akhir tahun 2022, tidak termasuk kapas, belalang, dan rayap. Canada secara bertahap menghentikan penjualan produk CPF pada tahun 2022, mengizinkan penggunaannya hingga 10 Desember 2023. CPF dibatasi untuk penggunaan tanaman di beberapa negara, termasuk Vietnam, Maroko, Sri Lanka, Arab Saudi, Indonesia, Palestina, Swiss, Thailand, dan Turki (1).
Melalui Peraturan Menteri Pertanian No. 24 tahun 2011 yang berjudul Syarat Dan Tatacara Pendaftaran Pestisida, terdapat daftar pestisida yang dilarang di Indonesia dan ada sekitar 42 jenis pestisida. Dalam aturan tersebut Bahan aktif diklorvos dan klorpirifos tersebut dilarang untuk pestisida rumah tangga, kebersihan dan sanitasi bidang yang digunakan untuk pengendalian serangga rumah tangga. Namun berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 43 Tahun 2019, klorpirifos hanya dilarang digunakan pada tanaman padi (2).
Ketika digunakan di bidang pertanian, CPF menyebar ke lingkungan, memengaruhi udara, tanah, dan air, serta dapat memasuki rantai makanan. Klorpirifos (CPF) berinteraksi dengan lingkungan dalam beberapa cara (1):
CPF diserap dengan kuat oleh tanah dan sulit tercuci dari tanah karena sulit larut dalam air. Waktu paruh CPF di dalam tanah berkisar antara 20 hingga 120 hari, dengan pembentukan 3,5,6-trikloro-2-piridinol (3,5,6-TCP) sebagai produk degradasi utama. CPF dapat mempengaruhi populasi mikroflora tanah dan menghambat siklus unsur hara penting tanah, termasuk fiksasi nitrogen oleh bakteri.
CPF stabil dalam larutan asam lemah dan netral, tetapi dihidrolisis oleh basa kuat. Keberadaannya di perairan bergantung pada topografi daratan, curah hujan, praktik pertanian, dan sifat-sifatnya, serta beberapa faktor lainnya. CPF telah terdeteksi di air permukaan, air laut, dan air hujan.
CPF di udara bereaksi dengan radikal •OH melalui fotolisis dan diubah menjadi CPFox, dengan waktu paruh 12 jam. CPF juga dapat diubah menjadi CPF-ox melalui reaksi dengan ozon dan radikal nitrat. Jarak yang dapat ditempuh CPF atau CPF-ox di udara sangat bergantung pada kondisi meteorologi seperti kecepatan angin, radiasi UV, dan suhu udara.
CPF dimetabolisme pada tanaman melalui hidrolisis P-O-pyridinol menjadi 3,5,6-TCP⁷[7]. Beberapa peneliti telah menemukan bahwa bagian CPF yang dimetabolisme menjadi 3,5,6-TCP mungkin tetap berada di tanaman dalam bentuk konjugat glikosida.
Alur CPF di lingkungan ini berkontribusi terhadap penyebarannya yang luas dan potensi dampak ekologis jangka panjang. Residu klorpirifos (CPF) telah terdeteksi pada berbagai jenis makanan. seperti: Buah-buahan, Biji-bijian, dan Sayur-sayuran serta berbagai Produk Hewani, karena lipofilisitasnya, CPF dapat masuk ke dalam tubuh hewan dan telah terdeteksi pada jaringan, organ, susu, dan cairan tubuh lainnya (Gambar 1)
Gambar 1. Keberadaan residu CPF pada makanan di berbagai belahan dunia.(1)
Para ilmuwan telah mengeksplorasi beragam pendekatan fisikokimia untuk memulihkan Klorpirifos (CPF) di lingkungan yang tercemar, termasuk metode seperti pembakaran, pembuangan di laut dalam, pembakaran di lubang terbuka, dan proses oksidasi tingkat lanjut. Namun, teknik ini menghasilkan produksi polutan sekunder yang ditandai dengan peningkatan toksisitas dan kemampuan mengakumulasi residu yang resisten. Hasil ini memerlukan penanganan tambahan, biaya yang dikeluarkan, konsumsi waktu, ketidakramahan terhadap lingkungan, dan kerumitan teknis (1).
Ada beberapa metode untuk degradasi Klorpirifos (CPF), yang bertujuan untuk pendekatan yang efektif dan ekonomis untuk mendekontaminasi lingkungan yang tercemar CPF. Salah satu pendekatannya melibatkan bioremediasi, menggunakan mikroorganisme asli seperti Pseudomonas sp., Enterobacter, dan Serratia, yang dikenal karena efisiensi, efektivitas biaya, dan ramah lingkungan dalam menghilangkan CPF dari berbagai matriks lingkungan. Bahan nano, seperti tabung nano atau kawat nano, dieksplorasi untuk aplikasi real-time dalam mempelajari remediasi pestisida, termasuk CPF. Selain itu, fitoremediasi juga dilaporkan dapat memanfaatkan nanopartikel besi dari Ficus sycomorus bersama dengan Plantago mayor untuk menghilangkan CPF dan metabolitnya dari air. Metode-metode ini penting karena tidak hanya menghindari timbulnya polutan sekunder tetapi juga dianggap ramah lingkungan (1).
REFERENSI
[1] Wołejko, E., Łozowicka, B., Jabłońska-Trypuć, A., Pietruszyńska, M., & Wydro, U. (2022). Chlorpyrifos occurrence and toxicological risk assessment: a review. International journal of environmental research and public health, 19(19), 12209.
[2] Gita Pertiwi. (2022) Laporan Situasi Klorpirifos di Indonesia. (Dokumen diunduh online melalui: https://ipen.org/documents/situation-report-chlorpyrifos-indonesia)