Lalat Kandang Bagian 2

Lalat Kandang Bagian 2
04
Senin, 4 Maret 2024

Reproduksi Lalat Kandang

Proses perkawinan lalat kandang dimulai ketika lalat jantan berusia 1–2 hari dan betina berusia 3–4 hari. Lalat jantan dapat membuahi beberapa betina, tetapi lalat betina hanya dapat kawin sekali saja dalam seumur hidupnya. Lalat dewasa jantan membutuhkan setidaknya satu kali makan darah sebelum kopulasi dan betina membutuhkan 2–3 kali. Untuk proses perkembangan setiap batch telur, lalat betina membutuhkan setidaknya 3–4 kali makan darah. Lalat betina memiliki rata-rata ≈100 folikel ovarium dan dapat menghasilkan ≈100 telur per siklus ovarium. Lalat betina bergerak cukup sering saat sedang mendepositkan telur dalam jumlah kecil di sepanjang substrat yang cocok. Sekitar 50% lalat betina sintas cukup lama untuk menyelesaikan satu siklus ovarium dan 50% dari itu sintas cukup lama untuk menyelesaikan siklus kedua (Beresford dan Sutcliffe 2012). Di laboratorium, produksi telur seumur hidup dari lalat ini bisa mencapai 600–800 telur per betina. 

Perkembangan Tahap Pra-Dewasa (Immature)

Larva lalat kandang makan dan umumnya berkembang biak pada bahan yang terfermentasi, sering kali terkontaminasi dengan kotoran hewan (Cook et al. 2018a). Larva lalat kandang umumnya tidak menggunakan kotoran sapi segar yang ada di lapangan, meskipun, di laboratorium, mereka dapat berkembang biak di kotoran segar. Kotoran kuda yang berumur 1–3 minggu lebih menarik bagi lalat kandang betina yang akan bertelur dan memberikan nutrisi yang lebih baik kepada larva daripada kotoran kuda segar yang berumur lebih dari 3 minggu. Lalat kandang bergantung pada komunitas mikroba yang berasosiasi dengan substrat yang cocok dan tidak dapat berkembang di substrat oligid steril (Romero et al. 2006).

Densitas larva dalam substrat dapat menjadi cukup tinggi dengan densitas rata-rata sekitar ≈ 1.500 lalat kandang/m2 hingga ≈ 3.900 lalat kandang/m2. Silase dan sayuran yang membusuk dapat mendukung perkembangan hingga lebih dari 2.000 lalat/m2. Kepadatan lebih rendah sekitar 24–175 larva/m2 telah dilaporkan berada dalam residu nanas, ampas tebu, dan jerami yang dicampur dengan vinasse (Dominghetti et al. 2015).

Pada substrat pakan jerami di musim dingin, probabilitas untuk menemukan larva lalat kandang tertinggi adalah saat sampel tersebut dalam kondisi lembab (≈350% air, berat basah/berat kering) dengan kandungan amonium tinggi (≈ 200 ppm), konduktivitas listrik tinggi (≈ 3 μS/cm), aktivitas mikroba tinggi, dan suhu yang berkisar ≈ 23°C. Preferensi untuk pH substrat bervariasi dari asam hingga netral hingga sedikit basa. Studi perilaku menunjukkan bahwa larva lalat kandang secara aktif berorientasi menuju ke substrat yang memiliki konsentrasi ammonium lebih tinggi. Penambahan amonium ke dalam substrat laboratorium dapat meningkatkan kelangsungan hidup (Friesen et al. 2017).

Pada suhu optimal 25–30°C, perkembangan fase immature (telur-puparisasi) membutuhkan waktu 13 hari, tetapi seperti hewan ektoterm lainnya, perkembangan ini bergantung pada suhu. Ambang batas termal bawah untuk perkembangan lalat kandang diperkirakan sekitar 11,5°C dan ambang batas atasnya adalah 35°C. Kualitas substrat memiliki efek yang kecil pada laju perkembangan tetapi memiliki efek besar terhadap ukuran imago (Florez-Cuadros et al. 2019). 

Perilaku Lalat Dewasa dan Dispersal

Lalat kandang dewasa dapat hidup hingga 35 hari di laboratorium, tetapi kemungkinan bertahan kurang dari tiga minggu di lapangan. Lalat dewasa dapat aktif sepanjang tahun di beberapa lokasi, tetapi jumlahnya biasanya menurun saat suhu maksimum harian meningkat di atas 30°C atau suhu minimum turun di bawah titik beku. Lalat kandang lebih sensitif terhadap suhu tinggi daripada lalat rumah (Lysyk 1998).

Di daerah beriklim temperata, populasi lalat kandang cenderung bimodal (menunjukkan dua puncak tertinggi densitas populasi) dengan puncak pada awal dan akhir musim panas (Jacquiet et al. 2014). Di lokasi yang lebih utara, satu puncak dapat diamati pada pertengahan musim panas dan di daerah yang lebih Selatan yang biasanya lebih hangat, satu puncak terjadi pada akhir musim dingin atau musim semi. Suhu dan curah hujan menjadi penggerak utama fluktuasi populasi lalat kandang (Taylor et al. 2017), namun, kedua parameter tersebut relatif bervariasi menurut wilayah.

Lalat kandang merupakan strong fliers atau memiliki kemampuan terbang yang cukup kuat. Dispersi median dari lokasi perkembangan larva dalam sebuah studi di Nebraska adalah 1,6 km, dan kurang dari 5% tersebar di lebih dari 5,1 km (Taylor et al. 2010). Di Florida, Hogsette dan Ruff (1985) mendemonstrasikan pergerakan sejauh 225 km dengan sistem frontal oleh lalat kandang liar yang ditandai. Namun, penelitian ini tidak diketahui melibatkan directed movement atau drifting on air currents. Dalam dispersi jarak pendek, jarak terbang mereka tetap dekat dengan tanah (Hogsette et al. 1989), dan setelah inang yang cocok ditemukan, mereka cenderung  akantetap berada di sekitar inang tersebut (Bailey et al. 1973).

Di zona temperata, mekanisme untuk overwintering dan rekolonisasi di musim semi masih belum diketahui secara detail. Sejumlah kecil lalat kandang dewasa dapat diamati di luar ruangan pada hari-hari musim dingin yang hangat dan jumlah yang signifikan dapat diamati pada musim semi sebelum akumulasi degree-days cukup bagi mereka untuk berkembang biak secara lokal. Lalat ini diketahui tidak memiliki fase diapause (Berry et al. 1978).

Dampak Lalat Kandang terhadap Hewan dan Manusia : Kerugian Ekonomi

Sebagian besar kerugian ekonomi yang disebabkan oleh lalat kandang dapat dikaitkan dengan kerusakan langsung dan respons perilaku serta fisiologis ternak terhadap aktivitas makan lalat dewasa. Infestasi yang tergolong parah dapat menyebabkan kematian pada inang (Elkan et al. 2009). Lalat kandang mengurangi produktivitas sapi di Amerika Serikat sekitar $2 miliar per tahun. Di negara-negara lain, kerugian ekonomi diperkirakan sebesar $6,8 juta di Meksiko dan $340 juta di Brasil.

Lalat kandang memberikan dampak pada produksi ternak dengan mengurangi penambahan berat badan dan efisiensi pakan pada sapi. Tiga perempat dari kerugian tersebut disebabkan oleh efek negatif dari kerumunan dan heat stress, sementara seperempat sisanya adalah akibat dari kehilangan darah dan energi metabolik yang dikeluarkan saat mempertahankan diri terhadap gigitan lalat kandang (Wieman et al. 1992).

Efek lalat kandang pada produksi susu, dan mungkin juga sistem produksi ternak lainnya, dapat berkaitan dengan interaksi terhadap asupan gizi inang. Wabah lalat kandang telah dikaitkan dengan sisa-sisa tanaman yang membusuk di beberapa wilayah dunia selama 20–30 tahun terakhir. Wabah yang menghancurkan di Australia, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan menghasilkan tingkat infestasi lebih dari 1.000 lalat kandang per hewan (Solórzano et al. 2015), jauh melebihi ambang batas ekonomi (≈15 lalat per hewan; Campbell dan Berry 1989).

Infestasi semacam itu dapat berlangsung selama beberapa bulan, mengurangi produktivitas hewan menjadi nol, dan menyebabkan kematian pada ternak dan hewan peliharaan. Lalat yang muncul dari wabah tersebut bisa sangat sulit untuk dikendalikan karena lokasi perkembangbiakannya dapat meluas ke area yang luas (yaitu, puluhan ribu hingga jutaan hektar).

Dampak Lalat Kandang terhadap Hewan dan Manusia : Kesehatan Hewan

Gigitan lalat kandang lebih menyakitkan daripada gigitan serangga pengisap darah lainnya. Mereka menyebabkan ketidaknyamanan yang mengganggu perilaku makan, reproduksi, dan istirahat hewan ternak. Selain itu, gigitan lalat kandang dapat menyebabkan perilaku pertahanan yang kuat dan stres fisiologis. Tingkat infestasi lalat kandang dapat melebihi 1.000 ekor per hewan (Solórzano et al. 2015). Karena lalat kandang menyerap sekitar ≈12 µl darah per makanan darah, infestasi pada tingkat ambang batas ekonomi, ≈15 lalat per hewan (hitungan instan), dapat menyebabkan kerugian sekitar ≈15 ml darah, sedangkan hitungan instan 1.000 lalat dapat menyebabkan kerugian >1 L darah per hari.

Sebagai respons terhadap lalat kandang, sapi berkumpul bersama untuk melindungi kaki mereka dari lalat penggigit dan menunjukkan perilaku pertahanan seperti mengibaskan ekor, menggoyangkan tubuh, dan menendang kaki. Selain dampaknya pada ternak, lalat kandang dapat pula mengganggu aktivitas manusia (Elkan et al. 2009). Namun, belum diketahui apakah lalat kandang merupakan vektor primer dari patogen manusia yang penting secara medis.

Dibandingkan dengan serangga penggigit lain seperti nyamuk (Diptera: Culicidae) dan lalat tsetse (Diptera: Glossinidae), lalat kandang adalah vektor pathogen yang buruk. Sebagian besar penyakit yang dibawa oleh lalat kandang ditularkan secara mekanis. Artinya, lalat kandang tidak membawa penyakit dalam tubuh mereka, tetapi mereka dapat menyebarkan patogen dari satu hewan ke hewan lainnya melalui gigitan mereka. Lalat kandang sering kali tidak bisa selesai makan karena gigitannya yang menyakitkan, sehingga mereka sering kali berpindah dari satu hewan ke hewan lainnya dalam waktu yang singkat. Karena sebagian besar inang lalat kandang merupakan hewan ternak yan biasanya berada dalam suatu kumpulan yang jaraknya dekat satu sama lain, hal ini memperbesar peluang lalat kandang untuk memudahkan siklus transmisi pathogen secara mekanis. Tingkat gigitan lalat kandang dapat mencapai lebih dari 6000 per hari dalam kategori infestasi berat. Pada kategori ini, transmisi penyakit yang signifikan dapat terjadi, bahkan ketika efisiensi transmisinya tergolong rendah. Beberapa penyakit yang dapat ditimbulkan oleh lalat kandang antara lain habronematidosis, equine infectious anemia (EIA), lumpy skin disease (LSD), besnoitiosis, hingga tripanosomiasis.

 

 

 

REFERENSI

Bailey, D. L., T. J. Whitfield, and B. J. Smittle. 1973. Flight and dispersal of the stable Fly. J. Econ. Entomol. 66: 410–411

Beresford, D. V., and J. F. Sutcliffe. 2012. Field measurements of stable fly (Diptera: Muscidae) demography, fecundity, and survival based on daily trap catches at a beef farm in southern Ontario over a 5-yr period. J. Med. Entomol. 49: 1262–1269.

Berry, I. L., K. W. Foerster, and J. B. Campbell. 1978. Overwintering behavior of stable flies in manure mounds. Environ. Entomol. 7: 67–72

Campbell, J. B., and I. L. Berry. 1989. Economic threshold for stable flies on confined livestock, pp. 18–22. In J. J. Petersen and G. L. Greene (eds.), Current status of stable fly research, vol. 74. Miscellaneous Publications of the Entomological Society of America, Lanham, MD.

Cook, D. F., D. V. Telfer, J. B. Lindsey, and R. A. Deyl. 2018a. Substrates across horticultural and livestock industries that support the development of stable fly, Stomoxys calcitrans (Diptera: Muscidae). Austral Entomol. 57: 344–348.

Dominghetti, T. F. S., A. T. M. Barros, C. O. Soares, and P. H. D. Cançado. 2015. Stomoxys calcitrans (Diptera: Muscidae) outbreaks: current situation and future outlook with emphasis on Brazil. Brazilian Journal of Veterinary Parasitology 24: 387–395

Elkan, P. W., R. Parnell, and J. L. D. Smith. 2009. A die-off of large ungulates following a Stomoxys biting fly out-break in lowland forest, northern Republic of Congo. African Journal of Ecology 47: 528–536.

Florez-Cuadros, M., D. R. Berkebile, G. Brewer, and D. B. Taylor. 2019. Effects of diet quality and temperature on stable fly (Diptera: Muscidae) development. Insects 10: 1–13

Friesen, K., D. R. Berkebile, J. J. Zhu, and D. B. Taylor. 2017. Augmenting laboratory rearing of stable fly (Diptera: Muscidae) larvae with ammoniacal salts. J. Insect Sci. 17: 1–6.

Hogsette, J. A., and J. P. Ruff. 1985. Stable fly (Diptera: Muscidae) migration in northwest Florida. Environ. Entomol. 14: 170–175

Hogsette, J. A., J. P. Ruff, and C. J. Jones. 1989. Dispersal behavior of stable flies (Diptera: Muscidae), 23–32. In J. J. Petersen and G. L. Greene (eds.), Current status of stable fly (Diptera: Muscidae) research, vol. 74. Miscellaneous Publications of the Entomological Society of America, Lanham, MD

Jacquiet, P., D. Rouet, E. Bouhsira, A. Salem, E. Lienard, and M. Franc. 2014. Population dynamics of Stomoxys calcitrans (L.) (Diptera: Muscidae) in southwestern France. Revue Med. Vet. 165: 267–271.

LaBrecque, G., D. Meifert, and D. Weidhaas. 1975. Potential of the sterilemale technique for the control or eradication of stable flies, Stomoxys calcitrans Linnaeus, pp. 449–460. Symposium on the sterility principle for insect control 1974. International Atomic Energy Agency (IAEA)-Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), Innsbruck, Austria.

Lysyk, T. J. 1998. Relationships between temperature and life-history parameters of Stomoxys calcitrans (Diptera: Muscidae). J. Med. Entomol. 35: 107–119

Pitzer, J. B., P. E. Kaufman, S. H. Tenbroeck, and J. E. Maruniak. 2011a. Host blood meal identification by multiplex polymerase chain reaction for dispersal evidence of stable flies (Diptera:Muscidae) between livestock facilities. J. Med. Entomol. 48: 53–60.

Romero, A., A. Broce, and L. Zurek. 2006. Role of bacteria in the oviposition behaviour and larval development of stable flies. Med. Vet. Entomol. 20: 115–121

Schofield, S., and S. J. Torr. 2002. A comparison of the feeding behaviour of tsetse and stable flies. Med. Vet. Entomol. 16: 177–185.

Solórzano, J. A., J. Gilles, O. Bravo, C. Vargas, Y. Gomez-Bonilla, G. V. Bingham, and D. B. Taylor. 2015. Biology and trapping of stable flies (Diptera: Muscidae) developing in pineapple residues (Ananas comosus) in Costa Rica. J. Insect Sci. 15: 145.

Taylor, D. B., R. D. Moon, J. B. Campbell, D. R. Berkebile, P. J. Scholl, A. B. Broce, and J. A. Hogsette. 2010. Dispersal of stable flies (Diptera: Muscidae) from larval development sites in a Nebraska landscape. Environ. Entomol. 39: 1101–1110.

Taylor, D. B., K. Friesen, and J. Zhu. 2017. Precipitation and Temperature Effects on Stable Fly (Diptera: Muscidae) Population Dynamics. Environ. Entomol. 46: 434–439.

Wieman, G. A., J. B. Campbell, J. A. Deshazer, and I. L. Berry. 1992. Effects of stable flies (Diptera: Muscidae) and heat stress on weight gain and feed efficiency of feeder cattle. J. Econ. Entomol. 85: 1835–1842

KONSULTASI DENGAN AHLI HAMA