Nyamuk merupakan serangga yang paling dikenal di seluruh dunia. Kehaadirannya dianggap menganggu, karena gigitannya dapat menyebabkan rasa gatal dan iritasi kulit. Nyamuk juga dikenal sebagai vektor pembawa penyakit berbahaya seperti malaria, demam berdarah, zaka, filariasis, dan chikungunya yang telah menyebabkan jutaan kematian manusia.
Ahli kesehatan dan masyarakat telah berlakukan berbagai upacara untuk mengatasi dan membasmi keberadaan nyamuk. Namun, masyarakat sering kali mengandalkan informasi yang belum terbukti kebenarannya. Beberapa alasan utama masyarakat mengandalkan informasi yang belum terbukti kebenarannya sangat berkaitan dengan akses informasi, budaya, pendidikan, dan bagaimana informasi disajikan dan diterima.
Informasi yang beredar dan belum terbukti kebenarannya kemudian berkembang menjadi mitos. . Mitos-mitos yang muncul mengenai nyamuk bisa jadi bersumber dari pengalaman pribadi, cerita turun-temurun, bahkan kesalahpahaman terhadap fakta ilmiah. Namun, mitos yang tidak berdasar ini, apabila tidak diluruskan, dapat menimbulkan dampak yang serius. Terutama ketika informasi yang tidak tapat diterapkan dalam upaya pembasmian dan kontrol populasi nyamuk dalam kehidupan sehari-hari.
Maka dari itu, mengenali dan memahami mitos-mitos tentang nyamuk sangatlah penting. Selain membantu masyarakat untuk tidak terjebak dalam informasi yang salah, hal ini juga dapat mendukung upaya pencegahan penyakit yang lebih efektif.
Terdapat beberapa mitos paling umum tentang nyamuk yang sering kali dipercaya oleh masyarakat. Salah satu mitos yang paling terkenal adalah keyakinan bahwa nyamuk lebih suka menyengat orang dengan darah manis. Bahkan, istilah darah manis sering digunakan oleh masyarakat untuk merujuk pada orang yang sering digigit nyamuk lebih dari orang lain. Kenyataannya, nyamuk tidak memilih korbannya berdasarkan rasa darah, melainkan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kadar karbon dioksida yang kita keluarkan saat bernafas, suhu tubuh, dan senyawa odor yang dikeluarkan oleh kulit.
Selain itu, ada juga mitos yang menyebutkan bahwa nyamuk hanya berkembang biak di air kotor. Padahal, nyamuk bisa bertelur dan berkembang biak di berbagai jenis air, baik bersih maupun kotor, seperti genangan air di pot tanaman atau bak mandi yang tidak terpakai.
Mitos lainnya mengatakan bahwa mengenakan pakaian berwarna gelap akan membuat seseorang lebih rentan terhadap gigitan nyamuk. Walaupun benar, warna gelap bukan bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi ketertarikan nyamuk pada manusia. Ada juga keyakinan bahwa mengonsumsi atau mengoleskan bawang putih dapat mengusir nyamuk, padahal tidak ada bukti ilmiah yang mendukung klaim tersebut. Selain itu, terdapat mitos bahwa ultrasound dapat mengusir nyamuk. Mitos ini didasarkan pada klaim bahwa frekuensi suara tertentu, seperti 15kHz yang dipancarkan oleh stasiun radio atau alat elektronik, dapat meniru suara predator nyamuk seperti capung atau nyamuk jantan, sehingga membuat nyamuk betina menjauh. Bahkan sudah banyak produk yang tersebar di pasaran dan menklaim bahwa produk dengan basis ultrasound dapat mengusir serangga hama.
Ternyata klaim tersebut tidak memiliki dasar ilmiah dan tidak efektif dalam mencegah gigitan nyamuk. Para ilmuwan, salah satunya Bart Knols, menegaskan bahwa tidak ada bukti ilmiah yang mendukung efektivitas ultrasound dalam mengusir nyamuk. Beberapa penelitian bahkan telah menunjukkan bahwa perangkat ultrasound tidak berpengaruh dalam mencegah gigitan nyamuk atau mengurangi risiko penyakit yang disebabkan oleh nyamuk.
Mitos ini juga berlaku untuk beberapa repellan yang sering digunakan dalam upaya mengusir nyamuk. Misalnya lilin citronella yang dipercaya sangat ampuh mengusir nyamuk, padahal citronella sepenuhnya melindungi kita dari nyamuk karena lilin ini hanya efektif dalam jarak terbatas dan tidak dapat mencegah nyamuk jika mereka sudah berada pada jarak yang sangat dkat. Selain itu, tanaman citrosa, meskipun mengandung minyak citronella, tidak cukup kuat untuk mengusir nyamuk secara signifikan dan hanya dapat berfungsi jika tanaman tersebut dihancurkan.
Masih banyak lagi mitos mengenai nyamuk yang beredar di masyarakat dan mungkin masih akan terus muncul mitos-mitos baru lainnya. Edukasi publik melalui kampanye informasi, seminar, workshop, dan pemanfaatan sosial media merupakan usaha yang bisa dilakukan untuk menghindari penyebaran mitos tidak benar mengenai nyamuk di kalangan masyarakat. Perlu dilakukan kerjasama dan kolaborasi antara lembaga kesehatan resmi, universitas, dan lembaga pengendali dengan media untuk menyebarluaskan fakta ilmiah serta penyuluhan di tingkat komunitas sehingga meningkatkan kesadaran masyarakat. Selain itu, pemberdayaan tenaga kesehatan untuk memberikan informasi akurat secara lansung di lapangan dapat membantu mengurangi penyebaran mitos dan miskonsepsi, serta memastikan masyarakat mendapatkan pengetahuan yang benar tdan layak mengenai nyamuk.
Demikian informasi terkait mitos dan realitas nyamuk. Semoga bermanfaat, ya!
Untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi kami melalui +62 821-1825-0931
Author : Rahmidevi Alfiani
REFERENSI
Kibe, L. W., Habluetzel, A., Kamau, A., Gachigi, J. K., Mwangangi, J. M., Mutero, C. M., & Mbogo, C. M. (2019). Low awareness and misconceptions of immature mosquito stages hinders community participation in integrated vector management in Malindi, Kenya.
Kremer, W. (2012). Ultrasound mosquito repellents: Zapping the myth. BBC News. https://www.bbc.com/news/magazine-20669080. Retrieved August 24, 2024.
VDCI. (n.d.). What do you really know about mosquitoes?. https://www.vdci.net/mosquito-myths-misconceptions-misidentification/. Retrieved August 24, 2024.