Padi merupakan tanaman pokok bagi sebagian besar negara di Asia dan hewan pengerat, seperti tikus sawah (Rattus argentiventer), merupakan hama utama pada sistem pertanian padi.
Tikus sawah termasuk dalam Famili Muridae, famili ini merupakan kelompok binatang mamalia yang paling berkembang di dunia.
Tikus sawah dapat ditemukan di seluruh Asia Tenggara yang terdiri dari kawasan Indochina, Thailand, Semenanjung Malaysia, Indonesia, Filipina, dan New Guinea.
Tikus sawah jarang ditemukan di rumah-rumah. Mereka cenderung banyak ditemukan di lahan pertanian (khususnya padi), padang rumput, dan perkebunan.
Serangan tikus sawah dapat menyebabkan kerusakan terhadap budidaya padi rata-rata mencapai 20% per tahun. Serangan tikus sawah ini terjadi sejak persemaian hingga panen bahkan dalam tempat penyimpanan padi.
Kepadatan tikus sawah di Indonesia dilaporkan telah mencapai 500-600 ind/ha.
Keberadaan tikus sawah yang sulit dikendalikan selalu menjadi masalah karena beberapa hal, yaitu penanganan terlambat, monitoring lemah, dan tidak intensif.
Artikel ini akan membahas mengenai morfologi dan siklus hidup, gejala serangan, serta cara mengendalikan tikus. Yuk simak penjelasan di bawah ini.
Secara morfologi, tikus sawah mirip dengan tikus rumah. Namun, telinga dari tikus sawah lebih tebal dan pendek, serta ekornya pun lebih pendek.
Panjang kepala-badan dan tungkai belakang pada tikus sawah secara berurutan adalah 17-21 cm dan 3,3-4,3 cm.
Tubuh bagian atas berwarna coklat kekuningan dengan bercak-bercak hitam di rambut-rambutnya, sehingga memberi kesan seperti abu-abu. Sedangkan, tubuh bagian bawah berwarna putih atau putih keabu-abuan.
Warna pada permukaan atas kaki sama dengan warna badan. Ekornya berwarna gelap pada bagian atas dan bawah.
Khusus untuk tikus betina, mereka memiliki 12 puting susu, terdiri dari 1 pasang pada bagian pektoral, 2 pasang pada bagian postaxial, 1 pasang pada bagian abdomen, dan 2 pasang pada bagian inguinal.
Siklus perkembangbiakan tikus sawah terkait erat dengan pertumbuhan tanaman yang ditemukan di dekatnya, terutama padi.
Betina dapat melahirkan minimal tiga anak selama masa perkembangan padi. Pertama saat padi mencapai tahap booting, kedua selama pemasakan, dan ketiga tepat sebelum panen.
Berdasarkan observasi yang telah dilakukan, jumlah keturunan bervariasi antar wilayah. Di Malaysia tikus betina dapat melahirkan 5-7 anak, sedangkan di Indonesia 11-12 anak.
Betina mulai berovulasi ketika beratnya 31-40 g atau pada umur sekitar 28 hari. Masa kehamilan berlangsung selama 20-26 hari dan interval antar kelahiran biasanya 20-25 hari.
Tikus membuat lubang di dalam tanah sebagai tempat tinggal, yang disebut lubang aktif. Pada stadia vegetatif padi, lubang aktif berbentuk sederhana dan dangkal, tetapi menjadi komplek dan bercabang pada stadia generatif padi yang juga merupakan saat berkembang biak tikus sawah.
Berbeda dengan genus dari hewan pengerat pada umumnya, lubang tikus sawah berisi anak-anak sebelumnya juga, bukan hanya anak-anak terbaru. Anak-anaknya kemudian akan meninggalkan lubang setelah mereka mencapai ukuran dewasa.
Tikus sawah tergolong hewan omnivora yang mampu memanfaatkan beragam pakan untuk bertahan hidup. Padi merupakan pakan utama yang paling disukainya, tetapi mereka juga ditemukan memakan berbagai macam biji-bijian, kacang-kacangan, bahkan dapat memakan rayap, belalang, siput, sayur mayur, dan buah-buahan.
Tikus sawah mencari makan di malam hari dan aktif bergerak saat senja dan fajar. Selama periode tersebut, mereka mengeksplorasi sumber pakan dan air, tempat berlindung, serta mengenali pasangan dan individu dari kelompok lain.
Di siang hari, biasanya mereka bersembunyi dalam lubang semak belukar, atau petakan sawah ketika padi telah rimbun.
Ketika tanaman padi berada pada tahap maksimum hingga tahap booting, beberapa bagian dari tanaman padi teramati dimakan oleh tikus sawah, seperti anakan di bagian dekat pangkal, bagian tengah dari tunas yang sedang berkembang, dan kepala bunga.
Pada tahap pembungaan akhir dan pengisian biji, tikus membuat potongan miring. Biasanya 60° pada batang padi yang membawa malai.
Setelah kerusakan parah terjadi oleh tikus, hanya tanaman di tepi yang tersisa dan ini sering disebut sebagai efek 'stadium'.
Apabila infestasi dari tikus sangat tinggi, maka tanaman akan hancur total dan menyebabkan kerugian besar. Dalam kasus yang parah, pembibitan perlu ditanam kembali.
Di Asia Tenggara, dampak serangan hewan pengerat paling tinggi dilaporkan di Indonesia. Sekitar 17% lebih kerusakan produksi padi disebabkan oleh tikus sawah.
Dari tahun 1989 hingga awal tahun 2000, rata-rata 20% produksi padi hilang karena tikus sawah. Intensitas kerusakan terendah terjadi pada tahun 1990 (16,58%) dan tertinggi pada tahun 1999 (24,56%).
Luas areal tanaman padi yang dirusak oleh tikus berkisar antara 73.476 ha pada tahun 1997 hingga 244.854 ha pada tahun 1998 dengan rata-rata 130.956 ha pada periode tersebut.
Tikus sawah juga merupakan hama serius pada tanaman penting lainnya, seperti kelapa sawit, tebu, jagung, singkong, kedelai, kacang tanah, kelapa, kacang hijau, dan ubi jalar.
Data yang dikumpulkan oleh pemerhati hama, yaitu Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan menunjukkan bahwa tikus sawah merupakan hama serius pada tanaman jagung, kacang tanah, dan kedelai di Indonesia. Rata-rata 3.651 ha jagung setiap tahunnya diserang oleh tikus, 3.291 ha kedelai, dan 1.120 ha kacang tanah antara tahun 1987 dan 1999.
Metode pengendalian hewan pengerat dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu metode pengendalian secara kultural, mekanis, biologis, dan kimia. Tidak ada satu metode pengendalian yang ideal untuk semua situasi sehingga perlu menggunakan beberapa teknik untuk meminimalkan kerusakan akibat hewan pengerat, tikus sawah.
Penggunaan perangkap adalah salah satu metode pengendalian tikus tertua. Perangkap cukup efisien dalam menghilangkan hewan pengerat dari area kecil, namun terlalu mahal dan melelahkan untuk digunakan dalam pengendalian tikus di area yang luas.
Perangkap yang paling umum digunakan adalah perangkap jepret (break-back) dan perangkap sangkar.
Metode lain yang dapat dilaukan adalah pengendalian dengan pengumpanan. Racun warfarin biasanya digunakan untuk membunuh tikus sawah untuk mencegah kehilangan panen.
Sebuah literatur menyebutkan bahwa pengendalian tikus dengan metode pengumpanan memiliki kendala yang diakibatkan karena perilaku makan dan kecerdikan dari tikus.
Perilaku makan tikus sawah dengan memakan sedikit umpan beracun terlebih dahulu dan mereka mampu mengingatnya sehingga pengumpanan lanjutan kadang mengalami kegagalan (umpan tidak dimakan).
Ingatan yang kuat tersebut dikarenakan otak tikus sawah berkembang sempurna sehingga memiliki kemampuan belajar dan mengingat, meskipun sangat terbatas dibanding manusia. Setiap benda baru (termasuk pakan) di lingkungannya, tikus akan curiga sehingga cenderung menghindari kontak dengan benda tersebut.
Metode perangkap-penghalang untuk pengendalian tikus sawah terhadap padi dilaporkan telah dilakukan di Indonesia. Sistem ini sangat efektif dalam melindungi area persemaian dan di area dimana kerusakan akibat tikus sawah teramati pada musim kemarau.
Kerusakan tikus di tempat pembibitan berkurang hingga rata-rata 0,002% dengan sistem ini. Area penelitian seluas empat hektar di Jatisari, Jawa Barat, yang ditanam 25-30 hari lebih lambat dibandingkan lahan pertanian di sekitarnya, pada musim-musim sebelumnya mengalami kerusakan akibat tikus yang sangat parah, namun dengan diperkenalkannya sistem ini, kerusakan akibat tikus berkurang menjadi hanya 0,005% di lahan yang sama seluas empat hektar.
Sistem perangkap-penghalang juga berhasil digunakan untuk menahan migrasi tikus dari lingkungan sekitar atau antar area dengan jadwal tanam berbeda di Jawa Barat.
Nah, demikian ulasan singkat terkait tikus sawah.
Apabila sedang mencari perusahaan pengendalian hama berlisensi, Ahli Hama dapat dipilih sebagai lembaga independen terpercaya.
Di sini menyediakan berbagai jenis layanan training mencakup:
Selain itu, adapun konsultan manajemen dan sertifikasi bebas hama untuk penilaian keberadaan hama.
Untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi kami melalui +62 821-1825-0931
Author : Dherika
Referensi
Adriyani, F.Y. (2022). Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Retrieved from https://cybex.id/artikel/100435/pengendalian-hama-tikus-terpadu/ (Accessed: May 18th, 2024)
CABI PlantwisePlus. (2019). Rattus argentiventer (rice field rat). Retrieved from https://plantwiseplusknowledgebank.org/doi/full/10.1079/pwkb.species.46833 (Accessed: May 17th, 2024).
Dewi, D.I. (2010). Tikus Sawah (Rattus argentiventer, Robinson & Kloss 1916). BALABA, 6(1): 22-23.
iNaturalist. (2024). Ricefield Rat (Rattus argentiventer). Retrieved from https://uk.inaturalist.org/taxa/44589-Rattus-argentiventer (Accessed: May 19th, 2024).
Plazi TreatmentBank. (2023). Rattus argentiventer (Robinson & Kloss, 1916). Retrieved from https://treatment.plazi.org/id/1E30E27534C3FF72E18727847E8D891C (Accessed: May 17th, 2024).
Singleton, G.R., Lorica, R.P., Nyo, M.H., & Alexander, M.S. (2021). Rodent Management and Cereal Production in Asia: Balancing Food Security and Conservation. Pest Manag Sci, 77: 4249-4261.