Kenali Lebih Jauh Mengenai Lalat Wajah

Kenali Lebih Jauh Mengenai Lalat Wajah
04
Kamis, 4 Juli 2024

Lalat yang satu ini memiliki rupa yang hampir sama dengan lalat rumah yang biasa. Namun, ada satu perilakunya yang membuat lalat ini menjadi sangat kontras jika dibandingkan dengan lalat rumah biasa. Perilaku itu adalah kecenderungannya untuk berkumpul di area wajah hewan, terutama hewan-hewan peternakan. Oleh karena itu, lalat ini sering disebut sebagai face fly atau lalat wajah. Mengapa bisa seperti itu?

Mari kita mengenal lebih lanjut tentang lalat ini!

Morfologi dan Siklus Hidup

Lalat wajah (Musca autumnalis) memiliki karakter morfologis yang hampir sama dengan lalat rumah biasa. Panjang tubuhnya sekitar 6-10 mm, dengan bagian dada (toraks) berwarna abu-abu dan ditandai dengan adanya empat garis hitam memanjang. 

Lalat jantan memiliki bagian perut (abdomen) berwarna kuning, dimulai dari segmen kedua, dengan garis hitam di tengah. Sementara itu, lalat betina memiliki bagian abdomen yang berwarna abu-abu hitam dan memiliki corak di seluruh bagian.

Gambar 1 Lalat wajah betina (kiri) dan jantan (kanan)

Lalat wajah mengalami metamorfosis sempurna dengan tahap larva dan dewasa yang aktif serta tahap telur dan pupa yang inaktif. Lalat betina kawin sekali seumur hidup dan telur yang sudah dibuahi diletakkan di celah-celah dan retakan kotoran sapi yang masih segar (0-1 hari) dalam kelompok telur yang berisi sebanyak 7-36 telur.

Betina yang sedang gravid (mengandung telur) akan menghindari kotoran-kotoran yang lebih tua serta bercampur dengan debris-debris lain dari lingkungan sekitar peternakan. Lalat wajah biasanya meletakkan telur mereka hampir secara eksklusif di dalam kotoran sapi. Namun, terkadang, mereka juga dapat menggunakan substrat lain, seperti kotoran kuda, babi, hingga manusia.

Gambar 2 Telur lalat wajah (kiri) dengan stalk respiratori berwarna cokelat yang masuk kedalam permukaan kotoran. Instar pertama (kanan) tengah menggali bagian kotoran

Meskipun demikian, substrat-substrat terakhir ini tidak cocok untuk perkembangan larva lalat wajah. Dengan kata lain, meskipun lalat wajah dapat menaruh telur di berbagai jenis kotoran, hanya kotoran sapi yang cocok sebagai lingkungan yang baik untuk tahap perkembangan larva mereka. Kotoran lainnya, seperti kuda, babi, dan manusia, tidak memberikan kondisi yang sesuai atau mendukung untuk perkembangan larva lalat wajah. 

Larva akan masuk ke dalam kotoran yang lembab dan kemudian makan dengan menyaring bakteri, ragi, dan partikel organik kecil dari cairan kotoran. Saat matang, larva akan berwarna kuning terang seperti kuning lemon. Mereka menyebar dari kotoran tempat mereka lahir, meresap ke dalam tanah sekitarnya, dan akhirnya memasuki tahap pupa di dalam puparia yang nantinya akan terkalsifikasi dan berubah menjadi putih seiring bertambahnya usia.

Gambar 3 Kiri ke kanan : instar ketiga berwarna kuning terang (6-10 mm), pre-pupa kuning, dan puparium yang terkalsifikasi yang didalamnya mengandung pupa

Lalat jantan muncul satu hingga dua hari sebelum lalat betina. Keduanya, baik jantan maupun betina, memakan nektar tumbuhan dan kotoran. Namun, lalat betina lebih dominan dalam memakan air mata, lendir, air liur, cairan ketuban, cairan vagina, susu, dan darah, terutama pada ternak seperti sapi dan kuda.

Dampak kepada Hewan Inang

Lalat wajah menyebabkan kerusakan langsung dan tidak langsung serta efek samping pada ternak inangnya, baik sapi maupun kuda. Kerusakan langsung terjadi akibat kontak antara hama dan inangnya dan meliputi luka langsung pada kulit dan jaringan lainnya melalui gigitan, alergi, atau miiasis, serta respons perilaku dan fisiologis terhadap iritasi (misalnya, penurunan kesuburan, pertumbuhan, dan laktasi). 

Kerusakan tidak langsung terjadi akibat penyakit yang disebabkan oleh patogen yang ditularkan oleh lalat, seperti bakteri dan nematoda yang menyebabkan luka dan deformasi mata. Terakhir, efek samping dapat terjadi akibat peningkatan biaya pengendalian hama yang pada akhirnya meningkatkan biaya produksi, memberikan dampak negatif pada organisme non-sasaran, atau menyebabkan perubahan kebijakan dan karantina yang diberlakukan oleh lembaga regulasi terkait.

Gambar 4 Lalat wajah tengah mencari makan di area mata dan sekresi wajah dari kuda, sapi, dan anak sapi

Lalat wajah tidak dapat menusuk kulit, sehingga mereka tidak dapat menghisap darah secara langsung; namun, bagian mulut mereka memiliki gigi prestomal yang dapat menggosok, menggaruk, hingga menembus konjungtiva jaringan mata inang yang memicu produksi air mata. 

Baik jantan maupun betina memiliki bagian mulut penyedot yang menyerap nektar tanaman dan cairan dari mata, wajah, dan lubang tubuh lainnya. 1-5 lalat wajah per mata per hari dapat menyebabkan lesi okuler yang serius yang menyerupai gejala mata merah pada sapi.

Kerusakan mekanis seperti ini, baik yang disebabkan oleh bagian mulut lalat wajah, debu, gulma, serbuk sari, atau sinar matahari berlebih, dapat memperburuk kondisi mata untuk terinfeksi, serta meningkatkan kerusakan jaringan epitel.

Aktivitas makan lalat wajah juga mendorong hewan di peternakan atau padang rumput untuk menunjukkan berbagai perilaku defensif, termasuk menggeleng-gelengkan kepala, menggerakkan ekor, dan berkumpul bersama dengan kepala-kepala ternak lainnya untuk menghindari serangan lalat. Selain menjadi iritan, lalat wajah juga dapat menularkan patogen yang secara tidak langsung menyebabkan penyakit pada sapi pedaging maupun sapi perah.

 

Gambar 5. Mata yang terinfeksi nematoda Thelazia

Salah satu penyakit yang dapat disebabkan oleh keberadaan lalat ini adalah Infectious Bovine Keratoconjunctivitis (IBK) yang dikenal juga dengans ebutan penyakit “mata merah” pada hewan ternak. Penyakit mata pada hewan ternak ini cukup umum diketahui dan disebabkan terutama oleh bakteri Moraxella bovis, M. bovoculi, dan M. ovis. Penularan dilakukan melalui regurgitasi droplet-droplet dari foregut atau midgut, yang secara tidak langsung mengontaminasi bagian mulut, kaki, dan tarsi. 

Lalat wajah juga dapat membawa virus hewan seperti virus Bovine Viral Diarrhea (BVD) dan Bovine Herpes Virus-1 (BHV-1). Selain itu, lalat wajah juga diketahui dapat mentransmisikan pathogen berupa nematoda cacing mata Thelazia.

Manajemen Pemantauan

Untuk pemantauan atau monitoring, ada beberapa yang dapat dilakukan untuk menilai populasi lalat wajah di suatu area. Biasanya, peternak melakukan inspeksi visual pada hewan, dan jika hewan 'memiliki lalat' atau menunjukkan tanda-tanda iritasi, maka lalat pada hewan tersebut dianggap sebagai masalah.  

Awalnya, pemantauan lalat wajah biasanya dilakukan dengan observasi visual lalat pada wajah hewan. Para peneliti umumnya menggunakan metode dengan cara menghitung jumlah lalat pada wajah 15 hewan dalam satu kawanan. Baru-baru ini, fotografi telah digunakan untuk mendokumentasikan jumlah lalat wajah.

Perilaku hewan juga dapat digunakan untuk mengukur kenyamanan hewan. Ketika hewan mengalami iritasi yang disebabkan oleh lalat wajah, mereka cenderung mengelompokkan diri lebih sering dan lebih lama untuk mencoba menghindari serangan lalat tersebut. Ini menunjukkan bahwa kehadiran lalat wajah dapat mempengaruhi kenyamanan dan perilaku hewan, sehingga perilaku hewan juga dapat digunakan sebagai salah satu metode untuk menilai tingkat infestasi lalat wajah pada hewan ternak. 

Respons perilaku juga dilaporkan bahwa keberadaan lalat wajah berpengaruh secara positif dan signifikan berasosiasi dengan perilaku tail flicks parsial dan leg stamp. Selain itu, proses pemantauan dapat juga dilakukan dengan penggunaan jebakan trap lengket atau walk-thru.  

Dalam perangkap walk-thru, hewan ternak diarahkan untuk berjalan melewati struktur seperti bangunan yang memiliki ruangan gelap dan terang. Mulanya, hewan berjalan melewati area yang gelap untuk kemudian disikat. Lalat yang terganggu akibat dari proses sikat ini akan menuju ke wilayah terang dimana lalat-lalat tersebut akan ditangkap secara pasif. 

Ada juga metode alternatif dengan metode vakum. Pada metode ini, lalat-lalat yang sudah diarahkan akan dihisap menggunakan alat vakum. Pemantauan jumlah lalat, ketidaknyamanan hewan, kehadiran penyakit, rekaman finansial, dan biaya untuk kendali hama lalat wajah merupakan faktor penting untuk mengembangkan program pengendalian lalat wajah.

Manajemen Pengendalian

Pengendalian secara biologis dapat dilakukan melalui agen-agen organisme biologis yang membunuh hama target. Fauna yang kaya akan predator, kompetitor, parasitoid, dan organisme entomopatogen secara alami terjadi di habitat padang rumput. Produsen ternak dapat melestarikan organisme-organisme tersebut dengan menghindari penggunaan insektisida dan antihelmintik spektrum luas pada saat organisme-organisme tersebut aktif, yang umumnya terjadi selama musim tumbuh. 

Spesies-spesies kumbang dari famili Cabaridae, Histeridae, Staphylinidae, dan Hydrophilidae merupakan predator general yang umumnya memangsa larva lalat wajah dan kotoran tempat Diptera berkembang. Selain predator, peran kompetitor seperti kumbang kotoran (Scarabidae) dan lalat pemakan kotoran bisa menekan perkembangan populasi lalat wajah dalam hal perebutan sumber daya kotoran segar.

Kumbang Scarabidae dapat mencabik-cabik, menguraikan, hingga mengubur kotoran dan hal ini dapat merusak telur atau larva lalat secara langsung, serta mengurangi suplai dan kualitas kotoran untuk larva lalat wajah.

Gambar 6. Famili kumbang predator lalat wajah

(kiri ke kanan : Cabaridae, Histeridae, Staphylinidae, dan Hydrophilidae)

Manajemen secara kimiawi dapat dilakukan dengan pengaplikasian insektisida kimiawi yang dapat dilakukan melalui beberapa metode dan bahan, yaitu :

  1. Feed-through : Metode ini umumnya menggunakan insektisida berbentuk larvasida dan IGR (insect growth regulators) yang dikonsumsi oleh hewan ternak melalui pakan atau mineral, lalu diekskresikan melalui kotoran. Lalat betina yang bertelur di kotoran dari hewan ternak tersebut akan terpapar dan dapat berujung pada kematian larva atau terhentinya perkembangan. Beberapa bahan aktif yang digunakan dalam metode ini antara lain diflubenzuron, tetrachlorvinphos, dan metophrene yang biasanya menargetkan larva lalat wajah.
  2. Ear Tag : Metode ini menggunakan ear tag yang sudah diberikan insektisida. Umumnya, insektisida dengan metode ini masuk ke dalam golongan 6 dan dapat juga disebut dengan istilah ML (macrocyclic lactones). ML hewan ternak umumnya meliputi abamectin, doramectin, eprinomectin, ivermectin, selamectin, dan milbemycin oxime. Avermectin berikatan pada reseptor asam gamma-aminobutirat (GABA) dalam sistem saraf serangga dan nematoda, sehingga memblokir transmisi impuls listrik antara saraf dan sel otot, yang menyebabkan hiperpolarisasi dan paralisis sistem neuromuskuler.
  3. Benzoylureas (kelompok 15) menghambat biosintesis kitin dan telah digunakan melawan lalat wajah sebagai pakan (diflubenzuron).
  4. Organofosfat (OPs) (Kelompok 1B) meracuni serangga dan mamalia dengan menonaktifkan enzim asetilkolinesterase. Pilihan aplikasi untuk insektisida OP dapat melalui label telinga insektisida, tambahan pakan, alat penggosok/minyak, dan semprotan. 
  5. Tetrachlorvinphos, yang digunakan sebagai tambahan pakan yang biasanya dicampurkan ke dalam blok mineral atau ditambahkan ke mineral atau pakan.
  6. Piretroid sintetik (Kelompok 3A) adalah insektisida yang menunda penutupan saluran natrium pada serangga. Dalam beberapa kasus, dapat menyebabkan impuls saraf yang tidak terkontrol dan terus menerus. Insektisida piretroid sintetik untuk pengendalian lalat wajah diformulasikan sebagai semprotan, label telinga, dan pour-on. Insektisida piretroid sintetik telah digunakan oleh produsen hewan ternak sejak awal tahun 1980-an.

Demikian informasi terkait lalat wajah. Semoga bermanfaat, ya!

Apabila sedang mencari perusahaan pengendalian hama berlisensi, Ahli Hama dapat dipilih sebagai lembaga independen terpercaya.

Untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi kami melalui +62 821-1825-0931

Author : AS Zuhri

REFERENSI

Bloomquist, J. R. 1996. Ion channels as targets for drugs. Ann. Rev. Entomol. 41: 163–190.

Bruce, W. G. 1938. A practical trap for the control of horn flies on cattle. J. Kansas Entomol. Soc. 11: 88–93.

Burt, E., M. V. Darlington, G. Graf, and H. J. Meyer. 1992. Isolation, purification and characterization of an insect carbonic anhydrase. Insect Biochem. Mol. Biol. 22: 285–291.

Drummond, R. O., J. E. George, and S. E. Kunz. 1988a. Biocontrol of Arthropod Pests of Livestock, pp. 205–213. In Control arthropod Pests Livest. a Rev. Technol. CRC Press, Inc., Boca Raton, Florida.

Fincher, G. T. 1990. Chapter 11. Biological control of dung-breeding flies: pests of pastured cattle in the United States, pp. 133–151. In D. A. Rutz and R. S. Patterson (eds.), Biocontrol of Arthropods Affecting Livestock and Poultry. Westview Press.

Floate, K. D. 2006. Endectocide use in cattle and fecal residues: environmental effects in Canada. Can. J. Vet. Res. 70: 1–10.

Fowler, F. E., J. Chirico, B. A. Sandelin, and B. A. Mullens. 2015. Seasonality and Diapause of Musca autumnalis (Diptera: Muscidae) at its Southern Limits in North America, With Observations on Haematobia irritans (Diptera: Muscidae). J. Med. Entomol. 52: 1213–1224.

Fukuto, T. R. 1990. Mechanism of action of organophosphorus and carbamate insecticides. Environ. Health Perspect. 87: 245–254

Grodowitz, M. J., A. B. Broce, and L. H. Harbers. 1987. Characteristics of dung that affect face fly, Musca autumnalis (Diptera: Muscidae), larva survival and puparial mineralization. Environ. Entomol. 16: 722–730.

Hansens, E. J., and I. Valiela. 1967. Activity of the face fly in New Jersey. J. Econ. Entomol. 60: 26–28

Krafsur, E. S., and R. D. Moon. 1997. Bionomics of the face fly, Musca autumnalis. Annu. Rev. Entomol. 42: 503–523.

Moon, R. D. 1986. Structure and validation of FLYPOP: a simulation model of face fly populations, pp. 18–27. In J. A. Miller (ed.), Model. Simul. Tools Manag. Vet. Pests. USDA Publ. ARS-46, Washington, DC.

Rosales, A. L., E. S. Krafsur, and Y. Kim. 1994. Cryobiology of the face fly and house fly (Diptera: Muscidae). J. Med. Entomol. 31: 671–680.

Teskey, H. J. 1969. On the behavior and ecology of the face fly, Musca autumnalis (Diptera: Muscidae). Can. Entomol. 101: 561–576

Valiela, I. 1969. An experimental study of the mortality factors of larval Musca autumnalis De Geer. Ecol. Monogr. 39: 199–225.

Vockeroth, J. R. 1953. Musca autumnalis Deg. in North America (Diptera: Muscidae). Can. Entomol. 85: 422–423.

KONSULTASI DENGAN AHLI HAMA