Pentingnya Memahami Perilaku Bait Shyness pada Tikus untuk Mengopimalkan Pengendalian Hama

Pentingnya Memahami Perilaku Bait Shyness pada Tikus untuk Mengopimalkan Pengendalian Hama
30
Selasa, 30 Juli 2024

Bait shyness adalah proses dimana hewan, termasuk tikus atau hewan pengerat lainnya, menjadi enggan atau menghindari sesuatu yang dianggap berbahaya berdasarkan pengalaman sebelumnya. Artinya, ketika seekor tikus mengasosiasikan umpan tertentu dengan rasa sakit atau penyakit, ia akan menghindari umpan tersebut di masa depan, bahkan jika umpan tersebut tampak menggoda atau mengandung makanan favoritnya.

Perilaku bait shyness pada tikus muncul sebagai hasil dari pengalaman negatif sebelumnya terhadap suatu umpan. Mekanisme yang mendasari kemunculan perilaku tersebut melibatkan proses kognitif dan fisiologis yang cukup kompleks.

Tikus adalah hewan yang sangat cerdas dan memiliki kemampuan belajar yang tinggi. Ketika mereka mengalami efek negatif setelah mengonsumsi umpan, seperti sakit perut atau keracunan, mereka dengan cepat mengasosiasikan dan mengidentifikasikan umpan tersebut sebagai pengalaman buruk dan sesuatu yang berbahaya. Proses pembelajaran tersebut akan disimpan dalam ingatan mereka, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk menghindari umpan yang sama di masa depan.

Kemampuan mengingat dna menghindari umpan merupakan hasil kerjasama antara hippocampus dan neurotransmitter. Hippocampus adalah bagian otak yang membantu tikus mengingat dan mengasosiasikan pengalaman negatif dengan umpan tertentu sedangkan beberapa neurotransmitter, seperti serotonin dan dopamin, terlibat dalam mengatur proses pembelajaran melalui perubahan suasana hati dan perilaku. Perubahan kadar neurotransmitter tersebut dapat membantu memperkuat memori negatif dan mengarahkan tikus untuk menghindari umpan beracun di masa depan.

Dopamin terlibat dalam sistem penghargaan dan motivasi di otak. Kadar dopamin akan berubah ketika tikus mengalami pengalaman buruk dan pada akhirnya akan mempengaruhi bagaimana tikus mengingat dan bereaksi terhadap umpan. Begitu juga dengan serotonin yang terlibat dalam pengaturan suasana hati dan perilaku. Pengalaman negatif yang terkait dengan konsumsi umpan bisa mempengaruhi kadar serotonin dan pada akhirnya mempengaruhi memori dan perilaku penghindaran terhadap umpan.

Selain itu, tikus memiliki kemampuan penciuman dan pengecap yang sangat tajam sehingga memungkinkan mereka untuk mendeteksi bau dan rasa dengan kepekaan yang tinggi. Dengan indra penciuman dan pengecap yang tajam, tikus bisa mengenali bahan-bahan yang terkandung dalam makanan atau umpan. Jika tikus pernah mengonsumsi umpan yang menyebabkan pengalaman negatif seperti rasa sakit dan keracunan, mereka akan mengingat bau dan rasa umpan tersebut sehingga di masa depan mereka bisa menghindari umpan yang memiliki karakteristik yang sama dengan umpan beracun yang dikonsumsi sebelumnya.

Tikus juga dapat melakukan pembelajaran sosial secara aktif dengan meniru dan beradaptasi terhadap perilaku anggota koloni mereka. Mereka sering mengamati dan belajar dari tindakan dan kejadian yang sedang dialami oleh tikus lain, baik secara langsung melalui interaksi sosial maupun melalui observasi tidak langsung. Dengan memanfaatkan informasi ini, tikus dapat membuat keputusan yang lebih baik tentang perilaku mereka, seperti menghindari umpan yang telah terbukti berbahaya. Hal inilah yang menyebabkan perilaku bait shyness dapat menyebar ke suatu koloni atau populasi tikus.

Pentingnya Memahami Perilaku Bait shyness untuk Pengendalian Hama

Informasi dan pemahaman mengenai perilaku bait shyness sangat penting karena perilaku tersebut dapat memengaruhi efektivitas dari pengendalian hama. Tikus yang mengalami bait shyness secara lansung akan mengurangi efektivitas dari rodentisida. Ketika tikus yang selamat dari upaya keracunan pertama menghindari umpan yang sama di masa depan, pengendalian akan menjadi lebih sulit dilakukan sehingga diperlukan pendekatan pengendalian hama yang lebih inovatif, seperti rotasi jenis umpan, penggunaan prebaiting, dan variasi formulasi umpan, guna menghindari pengembangan perilaku aversi. 

Rotasi jenis umpan melibatkan penggunaan bahan aktif berbeda secara bergantian. Dengan mengganti umpan secara periodik, tikus tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan kebiasaan menghindari umpan yang spesifik. Misalnya, dalam sebuah area yang terinfestasi tikus, pengendali hama mungkin mulai melakukan pengendalian menggunakan umpan dengan bahan aktif Bromadiolone. Setelah beberapa waktu, pengendali hama beralih ke umpan yang memiliki kandungan bahan aktif Chlorophacinone, dan kemudian beralih ke umpan dengan bahan aktif Difenacoum. Rotasi ini membantu memastikan bahwa tikus tidak hanya menghindari satu jenis umpan tetapi tetap terpapar bahan aktif yang efektif membasminya.

Prebaiting adalah strategi di mana umpan yang tidak mengandung bahan aktif terlebih dahulu untuk membiasakan tikus dengan jenis umpan tersebut. Setelah tikus terbiasa dan mulai mengonsumsi prebait, umpan yang mengandung bahan aktif diperkenalkan. Strategi ini akan mengurangi kemungkinan tikus menghindari umpan beracun karena mereka sudah terbiasa dengan umpan yang sama. 

Strategi yang dirancang untuk mengatasi bait shyness juga dapat membantu mengurangi risiko pengembangan resistensi tikus terhadap terhadap bahan aktif tertentu di dalam umpan dan memastikan bahwa umpan tetap efektif serta dapat digunakan untuk jangka waktu yang lama.

Nah, demikian ulasan singkat terkait kecoa mendesis Madagaskar beserta cara pengendaliannya. 

Untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi kami melalui +62 821-1825-0931.

Author : Rahmidevi Alfiani

REFERENSI

Grill, H. J. (1974). The role of smell and taste in rat feeding behavior: a physiological test of a sensory-drive interaction model. New York University.

Rzóska, J. (1953). Bait shyness, a study in rat behaviour. The British Journal of Animal Behaviour, 1(4), 128-135.

Shepherd, D. S., & Inglis, I. R. (1993). Toxic bait aversions in different rat strains exposed to an acute rodenticide. The Journal of wildlife management, 640-647.

Yamamoto, T., & Fujimoto, Y. (1991). Brain mechanisms of taste aversion learning in the rat. Brain research bulletin, 27(3-4), 403-406.

KONSULTASI DENGAN AHLI HAMA