Hama artropoda menunjukkan kemampuan luar biasa untuk beradaptasi dengan cepat terhadap stresor lingkungan, termasuk terhadap paparan insektisida dan perubahan iklim. Kemampuan tersebut ditunjukkan melalui pengembangan resistensi terhadap pestisida yang mengakibatkan mereka menjadi kurang rentan atau kebal terhadap efek pestisida yang digunakan untuk mengendalikannya.
Resistensi hama terhadap suatu jenis pestisida telah menjadi masalah global yang memengaruhi sektor pertanian dengan menurunkan hasil dan kualitas komoditas yang dihasilkan. Biaya yang dikeluarkan untuk mengembangkan formulasi pestisida juga tidak sedikit, dilaporkan bahwa dibutuhkan biaya sekitar $40 miliar setiap tahunnya untuk mengatasi hal tersebut.
Proses pengembangan resistensi pada hama sangat kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk perubahan iklim. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui teori evolusi seleksi alam yang pertama kali diperkenalkan oleh Charles Darwin pada abad ke-19. Teori tersebut menyatakan bahwa spesies akan berubah seiring waktu melalui proses seleksi alam, di mana individu dengan sifat yang lebih menguntungkan memiliki peluang lebih besar untuk bertahan hidup dan berkembang biak, sehingga sifat tersebut akan lebih banyak muncul di generasi berikutnya dalam satu populasi. Teori tersebut menekankan pentingnya variabilitas yang tinggi pada suatu populasi dan bagaimana faktor-faktor lingkungan, seperti perubahan iklim atau predator, mempengaruhi kelangsungan hidup spesies.
Seiring berkembangnya teknologi diagnostik dan ilmu biologi molekuler, terdapat pengembangan teori baru, yaitu Neo-Darwinisme yang mengintegrasikan penemuan baru dalam ilmu genetika dan biologi molekuler. Dalam pandangan baru tersebut, perubahan evolusi terjadi melalui mutasi genetik yang menghasilkan variasi genetik dalam populasi. Neo-Darwinisme menjelaskan bahwa mutasi yang terjadi secara acak dalam susunan DNA setiap individu dapat menghasilkan sifat baru yang menguntungkan dan meningkatkan ketahanan individu tersebut terhadap tekanan lingkungan. Apabila teori Darwin lebih fokus pada perubahan fenotip dan seleksi berdasarkan karakteristik baru yang tampak, Neo-Darwinisme menekankan pentingnya perubahan genetik yang menyebabkan munculnya sifat/karakteristik baru tersebut.
Hingga saat ini, peneliti mulai tertarik mempelajari mekanisme resistensi yang terjadi pada hama melalui pendekatan konsep epigenetika.
Epigenetika pertama kali diperkenalkan oleh Waddington pada tahun 1953, sebuah konsep yang menjelaskan bahwa perubahan ekspresi gen dapat terjadi dan diwariskan tanpa melibatkan perubahan dalam susunan DNA suatu organisme.
Dalam konteks pengembangan resistensi hama terhadap insektisida, epigenetika berfoku pada pemahaman bagaimana faktor lingkungan, seperti paparan pestisida atau perubahan iklim, dapat memengaruhi ekspresi gen di dalam organisme dan mengubah fenotipe yang muncul tanpa mengubah informasi genetika suatu organisme (susunan DNA).
Perubahan epigenetik memungkinkan organisme, khususnya hama, untuk beradaptasi dengan lebih cepat terhadap perubahan lingkungan dibandingkan dengan proses evolusi berbasis mutasi genetik. Mutasi genetik memerlukan waktu yang lebih lama karena melibatkan perubahan pada DNA yang diwariskan secara bertahap melalui generasi. Sebaliknya, perubahan epigenetik dapat langsung memengaruhi ekspresi gen tanpa mengubah urutan DNA, menghasilkan kemungkinan respon adaptif yang lebih cepat. Misalnya, paparan pestisida dapat memicu perubahan epigenetik pada hama, yang memungkinkan mereka menghasilkan enzim detoksifikasi lebih banyak dalam waktu singkat dan mempercepat proses adaptasi mereka terhadap paparan pestisida dibandingkan dengan hanya mengandalkan mutasi genetik.
Modifikasi epigenetik dapat diwariskan dalam satu populasi melalui dua cara, yaitu melalui intra-generasional, yaitu penurunan informasi epigenetik pada individu dalam siklus sel, dan melalui inter-generasional, yaitu pewarisan modifikasi epigenetik dari induk ke keturunannya. Hal tersebut dapat terjadi karena perubahan informasi yang dihasilkan melalui epigenetika dapat bertahan dalam sel melalui pembelahan mitosis dan dapat diturunkan kepada keturunan melalui pembelahan meiosis.
Mekanisme epigenetik yang menyebabkan resistensi pada hama dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, termasuk metilasi DNA, modifikasi histon, dan peran non coding RNA.
Metilasi DNA adalah mekanisme yang terjadi ketika terjadi penambahan gugus metil ke residu sitosin pada urutan CpG dan menghasilkan 5-metilsitosin. Proses ini dapat memengaruhi interaksi DNA dengan protein regulator dan menekan transkripsi gen, termasuk gen-gen yang terkait dengan detoksifikasi insektisida. Pada beberapa serangga, metilasi DNA ditemukan pada wilayah genik seperti promotor, ekson, dan intron, dan dapat memengaruhi splicing alternatif gen.
Sebagai contoh, metilasi DNA memang dapat memengaruhi ekspresi gen detoksifikasi cytochrome P450s (CYPs) yang merupakan enzim kunci dalam metabolisme dan resistensi terhadap insektisida. Penelitian yang dilakukan pada nyamuk Anopheles gambiae menunjukkan bahwa terjadi perubahan pola metilasi DNA yang pada akhirnya memengaruhi ekspresi gen CYPs yang berperan dalam metabolisme insektisida piritroid. Hipermetilasi pada wilayah promotor gen tertentu dapat menurunkan ekspresi gen tersebut, sementara hipometilasi dapat meningkatkan ekspresinya, sehingga menghasilkan fenomena resistensi yang bervariasi dalam satu populasi nyamuk.
Modifikasi histon juga merupakan salah satu mekanisme epigenetik yang berperan penting dalam membentuk resistensi. Histon adalah protein inti yang membantu mengemas DNA menjadi struktur nukleosom di dalam inti sel. Modifikasi histon dipengaruhi oleh asetilasi dan deasetilasi yang dapat mengubah tingkat aksesibilitas DNA terhadap faktor transkripsi, sehingga pada akhirnya memengaruhi ekspresi gen. Pada serangga, enzim histon asetiltransferase (HAT) dan histon deasetilase (HDAC) mengatur pengemasan DNA dari gen yang berperan penting dalam perkembangan, metamorfosis, dan reproduksi. Penelitian menunjukkan bahwa inhibitor HAT dan HDAC dapat mengubah waktu metamorfosis hama serangga, serta meningkatkan resistensi terhadap insektisida.
RNA non-koding seperti microRNA (miRNA) juga berperan penting dalam mengatur ekspresi gen secara epigenetik pada tingkat pasca-transkripsi. MiRNA bekerja dengan mengikat mRNA target untuk mencegah translasi atau menyebabkan degradasi mRNA. Perubahan profil ekspresi miRNA telah dikaitkan dengan adaptasi terhadap stres insektisida, termasuk pada serangga yang terinfeksi oleh Wolbachia.
Dengan demikian, mekanisme resistensi pada hama telah banyak dipelajari dan informasi baru masih terus didapatkan seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diagnostik. Pemahaman yang lebih baik mengenai peran epigenetika dalam respons adaptif hama tidak hanya akan membuka peluang untuk mengembangkan metode pengendalian hama yang lebih efektif, tetapi juga memberikan wawasan mengenai dampak jangka panjang dari penggunaan pestisida terhadap ekosistem.
Masih banyak hal yang belum sepenuhnya dipahami, terutama bagaimana interaksi kompleks antara faktor genetik, epigenetik, dan lingkungan membentuk pola resistensi yang beragam. Selain itu, pengembangan teknologi untuk menganalisis modifikasi epigenetik secara mendalam, masih menghadapi tantangan teknis dan biaya yang tinggi. Hal ini menegaskan pentingnya kolaborasi lintas disiplin dalam menjawab tantangan resistensi hama terhadap pestisida.
Author : Rahmidevi Alfiani
REFERENSI
Mogilicherla, K., & Roy, A. (2023). Epigenetic regulations as drivers of insecticide resistance and resilience to climate change in arthropod pests. Frontiers in Genetics, 13, 1044980.
Yang, J. F., Shi, L. R., Zhang, Z. K., Zhou, Z. S., & Wan, F. H. (2024). Histone Deacetylases (HDACs) Are Potential Biochemical Targets for Insecticide Development. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 72(2), 953-955.
Xiao, H., Ma, C., Peng, R., & Xie, M. (2024). Insights into the role of non-coding RNAs in the development of insecticide resistance in insects. Frontiers in Genetics, 15, 1429411.