Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan tanaman obat berkat keanekaragaman hayati yang tinggi, iklim yang mendukung penanaman sepanjang tahun, serta budaya penggunaan tanaman obat oleh masyarakat.
Salah satu tanaman obat yang populer adalah jahe (Zingiber officinale Rosc.), yang sering digunakan di Asia untuk mengatasi penyakit seperti batuk dan diare. Meski demikian, ketersediaan tanaman obat, terutama yang dimanfaatkan industri jamu, masih bergantung pada alam, sementara budidaya dalam skala besar menghadapi tantangan.
Salah satu tantangan utama dalam budidaya jahe adalah serangan hama dan penyakit, termasuk bercak daun, layu bakteri, hama rimpang, dan serangan nematoda. Hama rimpang, terutama lalat rimpang, sangat merusak karena menyerang rimpang jahe dan menyebabkan pembusukan.
Larva lalat rimpang mengonsumsi sari pati rimpang, mengakibatkan kerusakan yang mengurangi hasil panen. Kehadiran lalat rimpang sering diiringi serangan bakteri penyebab layu, yang memperparah kerusakan. Dampak dari hama dan penyakit ini sangat signifikan terhadap produksi jahe.
Artikel ini akan membahas mengenai lalat rimpang sebagai hama pengganggu komoditas jahe. Yuk simak uraian di bawah ini.
Lalat rimpang termasuk serangga holometabola (metamorfosis sempurna), dari telur, larva, pupa, hingga imago.
Telur lalat rimpang banyak ditemukan pada permukaan rimpang jahe yang membusuk, di tanah, dan beberapa ditemukan di antara tumpukan serasah.
Larva dari lalat rimpang berwarna putih transparan dan akan berubah menjadi putih kekuningan hingga coklat seiring bertambahnya waktu, dari instar 1 hingga 4. Larva merupakan fase yang paling banyak menyebabkan kerusakan pada rimpang jahe dengan serangan berat ditemukan mencapai 10-20 ekor larva dalam satu rimpang.
Pupa lalat rimpang berwarna cokelat muda di bagian tengahnya dan berwarna lebih gelap di kedua ujungnya. Pupa banyak ditemukan pada bagian dalam rimpang jahe yang telah membusuk dan mengering.
Imago lalat rimpang berwarna hitam, sayap transparan dengan dua spot hitam yang melintang di kedua sayapnya. Imago mampu hidup selama 18 hari atau sekitar 3 minggu.
Larva lalat rimpang memakan bagian dalam rimpang jahe sehingga rimpang menjadi keropos. Hal tersebut berpotensi menyebabkan rimpang menjadi busuk dan pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan hingga terjadi kematian pada tanaman jahe.
Pada tahap awal infestasi tidak terdapat tanda-tanda kerusakan yang terlihat di atas permukaan tanah, tetapi setelah 8 sampai 10 hari daun bagian bawah mulai menguning dan mengering. Dampak berkelanjutan dari serangan lalat rimpang adalah lahan yang telah terkontaminasi tidak dapat ditanami dengan tanaman yang sama sampai waktu tertentu.
Lalat rimpang juga sering ditemukan pada tanaman jahe yang terserang Ralstonia solanacearum, penyebab penyakit layu bakteri. Lalat rimpang tersebut diduga yang membuat luka pada tanaman jahe, sehingga membantu bakteri untuk menginfeksi dan masuk kedalam jaringan tanaman jahe.
Selain R. solanacearum, lalat rimpang juga dilaporkan berasosiasi dengan beberapa jenis mikroorganisme lainnya, yakni Fusarium, Pythium, Sclerotium, nematoda dari genera Tylenchus, Helicotylenchus, Meloidogyne dan Dorylaimida.
Kerusakan yang diakibatkan oleh lalat rimpang ini akan menimbulkan kerugian, seperti menurunkan kualitas produk sehingga nilai jual pun menurun. Selain itu, jahe yang dikonsumsi menjadi tidak baik untuk kesehatan masyarakat.
Pengelolaan organisme pengganggu tanaman (OPT) pada tanaman obat harus dilakukan secara ramah lingkungan mengingat produk ini dikonsumsi sebagai obat. Pendekatan yang berkelanjutan meliputi penggunaan benih unggul atau varietas yang tahan terhadap OPT serta penerapan teknik budidaya standar, seperti pemberian pupuk organik, penggunaan mulsa, pengolahan tanah, pengaturan jarak tanam, monitoring, sanitasi, dan penyiangan gulma.
Selain itu, rotasi tanaman dari famili berbeda penting untuk mencegah akumulasi OPT pada satu jenis inang, dan pemanfaatan predator alami OPT juga diutamakan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan kimia.
Pengendalian fisik atau mekanik turut diterapkan untuk mengurangi OPT secara manual. Penggunaan pestisida alami, baik yang berasal dari tanaman, organisme hayati, maupun bahan mineral seperti belerang, menjadi pilihan utama dalam mengendalikan OPT tanpa membahayakan lingkungan dan kesehatan manusia.
Author: Dherika
Ghorpade, S.A., Jadhav, S.S., & D.S, Ajri. (1988). Biology of rhizome fly, Mimegralla coeruleifrons Macquart (Micropezidae: Diptera) in India, a pest of turmeric and ginger crops. Tropical Pest Management, 34(1): 48-51, DOI: 10.1080/09670878809371205.
iNaturalist. (n.d). Mimegralla coeruleifrons. Retrieved from https://ecuador.inaturalist.org/taxa/1477926-Mimegralla-coeruleifrons (Accessed: November 6th, 2024).
Perkasa, G., & Tarigan, N. (2020). Biologi Lalat Rimpang Mimegralla coeruleifrons Macquart (Diptera: Micropezidae) sebagai Hama pada Pertanaman Jahe Merah. Prosiding Temu Teknis Jabatan Fungsional: 107 -112.
Plant Wise. (n.d). Rhizome Fly and Rhizome Rot on Ginger. Retrieved from https://plantwiseplusknowledgebank.org/doi/pdf/10.1079/pwkb.20177801269 (Accessed: November 6th, 2024).
Wiratno. (2017). Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman Obat Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional 2017 Fakultas Pertanian UMJ: 1-16.