Tungau Merah (Tetranychus urticae) Pengganggu Tanaman Budidaya

Tungau Merah (Tetranychus urticae) Pengganggu Tanaman Budidaya
14
Selasa, 14 Mei 2024

Tahukah kamu? Tungau merah, Tetranycus urticae, merupakan hama yang mengganggu tanaman budidaya, termasuk buah-buahan (stroberi, blueberry, blackberry), sayuran (tomat, labu siam, terong, mentimun), kapas, bahkan tanaman hias (ros, camellia, azalea). Mereka juga dikenal dengan nama tungau laba-laba merah atau tungau laba-laba berbercak dua.

Tungau merah termasuk ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Arachnida, Ordo Acari, dan Famili Tetranychidae.

Tungau merah terdistribusi di beberapa negara, seperti Eropa, Asia, Afrika, Australasia, Kepulauan Pasifik dan Karibia, Amerika Utara, Tengah dan Selatan.

Tungau merah adalah hama yang menyerang permukaan bawah daun. Hal ini dapat menyebabkan kerugian ekonomi bagi pembudidaya, sebagai contoh kehilangan panen di Amerika dapat mencapai 15% pada budidaya stroberi, di Perancis kehilangan panen dapat mencapai 14% pada budidaya jagung dan 14%-44% pada budidaya tanaman kapas.

Oleh sebab itu, bagaimana siklus hidup, ciri serangan, hingga cara mengendalikan tungau merah? Yuk simak penjelasan di bawah ini.

Siklus Hidup dari Tungau Merah.

Tungau dewasa mempunyai ukuran tubuh yang kecil, sekitar 0,3-0,5 mm. Ketika populasi yang melimpah, biasanya mereka akan berkerumun dan terlihat berwarna merah pada permukaan bawah daun.

Telur tungau sangat kecil, sekitar 0,14 mm, sehingga sulit dilihat secara langsung. Telur yang baru diletakkan berwarna bening dan secara bertahap akan berubah warna menjadi kekuningan.

Telur akan menetas setelah 3-10 hari dan munculah larva yang berbentuk bulat dengan tiga pasang kaki (berkaki 6). Mereka mengisap cairan sel tanaman dan berubah warna menjadi kuning muda atau kehijauan dengan dua bercak hitam.

Larva berkembang menjadi nimfa berkaki 8. Tahap nimfa ini terdiri dari protonimfa dan deutonimfa dimana individu betina berukuran lebih besar dibanding jantan.

Di antara tahap larva dan protonimfa terdapat fase istirahat yang disebut dengan protochrysalis, sedangkan di antara stadia protonimfa dan deutonimfa terdapat fase istirahat yang disebut dengan deutochrysalis.

Tahap nimfa berlangsung selama 4-12 hari tergantung dari faktor biotik dan abiotik. Setelah tahap nimfa, mereka akan berkembang menjadi tungau dewasa.

Tungau dewasa memiliki warna yang bervariasi dari oranye, hijau, coklat kemerahan, hitam, dan seringkali bergantung pada tanaman inangnya. Mereka mempunyai bercak kehitaman yang bervariasi ukurannya dimana bercak tersebut adalah partikel makanan dalam saluran pencernakan tungau.

Tungau merah mampu memintal jaring yang halus di sekeliling daun sebagai tempat untuk menambatkan telur dan juga sebagai pelindung agar koloni tungau ini dapat makan tanpa terganggu. Selama hidupnya, tungau merah betina dapat menghasilkan telur hingga 70 atau lebih butir telur.

Ciri-Ciri Serangan dari Tungau Merah.

Tungau tersebar dari satu tanaman ke tanaman lain dengan bantuan angin atau dengan perantara benang-benang putih seperti jaring laba-laba pada tanaman inang.

Dari tahap larva hingga dewasa, tungau merah merusak tanaman dengan cara menghisap cairan sel-sel daun yang mengakibatkan bercak pucat akibat sel epidermis telah rusak. Mereka menyerang daun-daun muda dan tua, relatif menyukai daun tua.

Ciri-ciri serangan oleh tungau merah diawali dengan terlihatnya bercak kuning sepanjang tulang daun pada daun-daun bawah dan tengah. Bercak tersebut kemudian menyebar ke seluruh permukaan daun sehingga daun berwarna kemerahan, coklat atau seperti karat.

Daun yang terserang parah akhirnya kering hingga terjadi kerontokan daun total. Hal itu berpotensi mempengaruhi kualitas buah, seperti ukuran buah yang kecil sehingga akan berdampak pada produksi tanaman.

Meskipun kerusakan yang disebabkan oleh 1 ekor tungau merah akan berdampak kecil, namun dengan populasi tungau yang mencapai ribuan akan mengakibatkan luka berat bagi tanaman. Hal tersebut dapat  mengganggu proses fotosintetis, mengurangi produksi nutrisi, dan mematikan tanaman.

Pengamatan yang telah dilakukan di lapangan menyebutkan bahwa tungau dapat menyebabkan kerusakan pada daun hampir 90%. Pada masa vegetatif, tungau dapat membawa virus dan serangannya menjadi lebih berat.

Di Indonesia, tungau merah merupakan salah satu hama utama tanaman ubikayu terutama selama musim kemarau. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa serangan tungau merah yang parah akan mengakibatkan kehilangan hasil ubikayu sampai 95%.

Cara Mengendalikan Tungau Merah.

Secara umum pengendalian tungau dapat dilakukan dengan beberapa cara.

Pengendalian secara kultur teknis termasuk penggunaan varietas tahan, sanitasi lingkungan, dan pengaturan waktu tanam, pengendalian mekanis dengan cara penyemprotan air beberapa kali agar tungau larut tercuci bersama air.

Pengendalian secara biologi dengan memanfaatkan musuh alami berupa predator dan patogen dapat dilakukan. Penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa Biotipe B, yakni Pseudomonas putida, mempunyai efektifitas yang tinggi untuk menurunkan populasi tungau merah.

Pengendalian dengan pestisida adalah metode yang sering digunakan. Pestisida khusus melawan tungau adalah akarisida.

Beberapa bahan akarisida konvensional yang sering digunakan adalah senyawa organotin, penghambat transpor elektron mitokondria (fenazaquin, fenpyroximate, pyridaben, chlorpyrifos, dan tebufenpyrad), dan piretroid. Namun, tungau ini mampu mengembangkan resistensi terhadap senyawa sintetik tersebut karena siklus hidupnya yang pendek, keturunan yang melimpah, dan kemampuan reproduksi arrhenotokous.

Penggunaan berulang-ulang dapat menyebabkan berkembangnya resistensi pada tungau. Karena ketahanannya terhadap sejumlah besar pestisida, tungau merah dianggap sebagai “spesies paling resisten” di banyak wilayah di seluruh dunia.

Terdapat beberapa akarisida (seperti morestan dan binapacryl) yang efektif melawan strain yang resisten, tetapi bersifat fitotoksik bila diterapkan dalam kondisi rumah kaca.

Sejauh ini upaya pengendalian diutamakan pada penggunaan varietas tahan dan pengendalian secara biologi. Karena dengan pengendalian kimiawi di samping biaya yang tinggi, penggunaan bahan kimia untuk pengendalian tungau mempercepat timbulnya resistensi dan adanya bahan kimia lebih mematikan predator daripada tungau itu sendiri.

Demikian informasi tentang tungau merah. Semoga bermanfaat, ya!

Apabila sedang mencari perusahaan pengendalian hama berlisensi. Ahli Hama dapat dipilih sebagai lembaga independen terpercaya.

Di sini menyediakan berbagai jenis layanan training mencakup:

  1. Basic Pest Management Training (BPT)
  2. Advanced Pest Management Training (APT)
  3. Pest Control Mentoring (PCM)
  4. In House Training

Selain itu, adapun konsultan manajemen dan sertifikasi bebas hama untuk penilaian keberadaan hama.

Untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi kami melalui +62 821-1825-0931.

Author: Dherika

Referensi

Agriculture Victoria. (2024). Two-spotted mite. Retrieved from https://agriculture.vic.gov.au/biosecurity/pest-insects-and-mites/priority-pest-insects-and-mites/twospotted-mite (Accessed: May 10th, 2024).

Attia, S., Grissa, K.L., Georges, L., Ellyn, B., Thierry, H., & Anne, C.M. (2013). A review of the major biological approaches to control the worldwide pest Tetranychus urticae (Acari: Tetranychidae) with special reference to natural pesticides. J Pest Sci 86: 361–386. https://doi.org/10.1007/s10340-013-0503-0.

CABI. (2021). Tetranychus urticae (two-spotted spider mite). Retrieved from https://www.cabidigitallibrary.org/doi/10.1079/cabicompendium.53366 (Accessed: May 10th, 2014).

Fasulo, T.R. (2009). Two-spotted spider mite. Retrieved from https://entnemdept.ufl.edu/creatures/orn/twospotted_mite.htm (Accessed: May 10th, 2024).

Indiati, S.W., & Saleh, N. (2010). Hama tungau merah Tetranychus urticae pada tanaman ubikayu dan upaya pengendaliannya. Buletin Palawija, 20: 72-79.

Santoso, S., Rauf, A., Nelly, M.G., Elna, K., & Widi, R. (2014). Biologi dan kelimpahan tungau merah Tetranychus sp. (Acari: Tetranychidae) pada dua kultivar jarak pagar (Jatropha curcas). Jurnal Entomologi Indonesia, 11(1): 34-42. Doi: 10.5994/jei.11.1.34.

DAFTAR KELAS SEKARANG