Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan arthropoda, terutama nyamuk. Penyakit dengue yang disebabkan oleh nyamuk, terutama oleh spesies Aedes aegypti, memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan manusia karena dapat menyebabkan wabah penyakit yang luas serta dapat menyebabkan kematian bagi individu yang terinfeksi. Berdasarkan perhitungan statistik, dilaporkan bahwa sekitar 2.5 miliar orang di seluruh dunia berisiko teinfeksi penyakit dengue. Terutama populasi yang tinggal di wilayah tropis dan sub tropis, seperti Asia Tenggara, Pasifik, Afrika, Timur Tengah, dan Amerika (Guzman et al., 2010).
Data yang dilaporkan oleh WHO menunjukkan bahwa jumlah rata-rata kasus demam dengue pertahun meningkat secara drastis secara signifikan dari tahun 1990-1999 hingga tahun 2000-2004. Selain ttu, kasus demam berdarah telah meningkat tajam selama dua dekade terakhir. Dari tahun 2000 hingga 2019, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendokumentasikan peningkatan sepuluh kali lipat kasus yang dilaporkan di seluruh dunia, meningkat dari 500.000 menjadi 5,2 juta kasus degan case fatality rate atau tingkat kematian melebihi 5% dan sekitar 10% dari kasus tersebut membutuhkan perawatan yang intensif di rumah sakit. Hingga saat ini, peningkatan kasus masih terus terjadi. Diperparah dengan penyebarannya ke wilayah lain yang sebelumnya belum pernah terinfestasi. Hal tersebut dapat disebabkan karena perubahan iklim dan pemanasan global, pergerakan manusia, dan perubahan genetik serta karakteristik virus (WHO, 2023).
Ada tiga sindrom yang dapat dijelaskan terkait dengan infeksi virus dengue, yaitu demam dengue klasik, demam berdarah dengue, dan sindrom syok dengue. Masing-masing sindrom ini memiliki karakteristik dan gejala yang berbeda (Long et al.,1997).
Saat ini, WHO telah menyederhanakan klasifikasi klinis dengue menjadi dua kategori utama, yaitu nonsevere dengue dan sever dengue. Penyederhanaan itu dilakukan untuk mempermudah proses diagnosis dan manajemen klinis penyakit dengue. Non severe dengue mencakup demam dengue klasik, sedangkan sever dengue mencakup Dengue Hemorrhahic Fever (DHF) dan Dengue Shock Syndrome (DSS).
Virus yang menyebabkan penyakit dengue adalah virus DENV, termasuk kedalam genus flavivirus yang merupakan bagian dari keluarga Flaviviridae. DENV diketahui berevolusi dari nenek moyang yang sama di dalam primata non-manusia sekitar 500–1.000 tahun yang lalu. DEN- 1 adalah serotipe pertama dari DENV yang diisolasi dan diidentifikasi oleh Ren Kimura dan Susumu Hotta pada tahun 1943 selama wabah demam dengue di Nagasaki, Jepang. Hingga saat ini, telah diidentifikasi empat serotipe DENV (DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4) yang berperan dalam menyebabkan demam dengue (Guzman et al., 2010).
Keempat serotipe virus dengue disebut serotipe karena masing-masing memiliki interaksi yang berbeda dengan antibodi dalam serum darah manusia. Meskipun terdapat empat serotipe yang berbeda, semuanya memiliki kemiripan genetik sekitar 65% dari genom yang berarti ada banyak kesamaan dalam struktur genetik dasarnya. Meskipun terdapat variasi genetik sekitar 35% di dalam setiap serotipe, infeksi dengan setiap serotipe virus dengue menghasilkan penyakit yang sama dan rentang gejala klinis yang serupa, termasuk demam, sakit kepala, nyeri otot dan sendi, mual, muntah, ruam kulit, dan dalam kasus yang parah, dapat menyebabkan demam berdarah (Guzman et al., 2010).
Gambar 1 Genom DENV (A) dan Struktur DENV (B) (Guzman et al., 2010)
Partikel virus dengue berbentuk bulat dengan diameter sekitar 40–50 nm dan memiliki lapisan luar yang terbuat dari lipopolisakarida. Genom DENV adalah RNA positif yang memiliki panjang 11 kb. Genom RNA tersebut memiliki satu bingkai pembacaan terbuka (open reading frame) yang mengkodekan tiga protein struktural (kapsid, membran, dan envelope) serta tujuh protein non-struktural (NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4A, NS4B and NS5). Protein envelope (E) memiliki peranan penting dalam mengatur sifat biologis virus dengue, seperti mengatur pengikatan pada reseptor sel manusia, kemampuan untuk menggumpalkan eritrosit, dan penginduksi respon kekebalan tubuh host. Capsid (C) adalah protein struktural yang membentuk inti virus atau nukleokapsid dan melindungi genom virus, sedangkan Membran (M) adalah protein yang terletak di lapisan luar virus dan menempel pada viral envelop atau selubung virus, berfungsi untuk manjaga integritas selubung virus. Tujuh protein struktural tidak membentuk bagian fisik dari virus, tetapi berperan penting dalam siklus replikasi virus di dalam sel inang nya (Gambar 1) (Guzman et al., 2010).
Gambar 2 Proses Replikasi DENV di Dalam Sel Inang (Mukhopadhyay et al., 2005)
Vektor nyamuk, terutama Aedes aegypti, akan terinfeksi ketika mereka menghisap darah manusia selama periode viremia yang biasanya berlangsung selama lima hari. Virus akan pindah dari saluran pencernaan nyamuk ke kelenjar ludah setelah periode inkubasi ekstrinsik, suatu proses yang memakan waktu sekitar 10 hari. Gigitan nyamuk setelah periode inkubasi ekstrinsik akan mengakibatkan infeksi, yang selama prosesnya dibantu oleh berbagai jenis protein pada air liur nyamuk (Guzman et al., 2010 ; Tuiskunen et al.,2013).
Terdapat beberapa langkah dalam siklus hidup DENV di dalam inangnya (Gambar 2). Pertama, partikel virus yang lengkap (virion) akan berikatan dengan reseptor di permukaan sel manusia. Reseptor spesifik yang digunakan oleh virus dengue belum sepenuhnya teridentifikasi. Namun, DENV diketahui berikatan dengan beberapa jenis reseptor, termasuk beberapa jenis glikoprotein seperti heparin sulfat, DC-SIGN (dendritic cell-specific intercellular adhesion molecule-3-grabbing non-integrin) pada sel dendritik, atau reseptor mannose. Selain itu, molekul yang disebut CLEC5A telah dilaporkan sebagai reseptor pada makrofag yang bisa berikatan dengan DENV. Selain itu juga dilaporkan bahwa DENV dapat bereplikasi secara luas dalam jenis sel lainnya, seperti sel-sel parenkim hati di nodus limfatik, limpa, serta dalam monosit darah tepi (Guzman et al., 2010 ; Tuiskunen et al.,2013).
Virion yang berikatan dengan reseptor kemudian akan diinternalisasi ke dalam sel melalui endositosis atau pembentukan kantung endosom untuk membawa virion ke dalam sel. Kedua, perubahan pH dan muatan di dalam endosom akan menfasilitasi terjadinya fusi membran sel dan virus. Proses fusi tersebut memungkinkan virion untuk melepaskan materi genetiknya, vRNA, ke dalam sitoplasma sel. Materi genetik tersebut akan diterjemahkan menjadi poliprotein oleh ribosom sel host. Poliprotein kemudian akan diproses atau dipecah oleh protease viral dan seluler menjadi komponen protein yang berbeda, termasuk protein struktural dan non-struktural virus. Protein non-struktural (NS) virus akan mengarahkan replikasi genom RNA virus (vRNA) yang baru (Guzman et al., 2010 ; Tuiskunen et al.,2013).
Setelah replikasi genom virus oleh NS, genom atau vRNA yang baru terbentuk akan berinteraksi dengan protein C, membentuk struktur yang disebut nukleokapsid. Nukleokapsid akan melindungi dan mengangkut genom virus selama tahap perakitan virus di retikulum endoplasma (ER) kasar sel inang. Nukleokapsid, bersama dengan protein C akan dibungkus oleh membran ER dan glikoprotein, membentuk virus baru yang immatur. Glikoprotein akan memainkan peran dalam pembentukan selubung virus dan membentuk struktur yang disebut glikokaliks. Glikokalis tersebut membantu virus berinteraksi dengan sel dan menghindari deteksi oleh sistem kekebalan tubuh inang.
Virus dengue yang belum matang akan diangkut melalui kompleks aparatus Golgi. Di dalam aparatus Golgi, virus mengalami pematangan, yaitu proses di mana protein prM (protein precussor of membrane) diubah menjadi protein M yang matang oleh enzim furin. Proses ini harus dilakukan untuk menghasilkan virus yang infeksius. Setelah pematangan, virus dengue dikeluarkan dari sel inang dan dapat melanjutkan proses infeksinya terhadap sel-sel lain di dalam tubuh inang.
Periode inkubasi atau waktu antara saat seseorang terpapar virus hingga muncul gejala penyakit berkisar antara 4-10 hari setelah terpapar virus. Selama periode ini, seseorang mungkin tidak mengalami gejala apapun. Mayoritas infeksi virus dengue tidak menimbulkan gejala yang parah dan bersifat asimtomatik atau menyebabkan penyakit sistemik ringan. Namun, dalam beberapa kasus, infeksi virus dengue dapat menyebabkan gejala yang lebih serius. Terutama apabila orang yang terinfeksi memiliki penyakit bawaan seperti asma, diabetes, dan penyakit kronis lainnya.
Ketika seseorang terinfeksi virus dengue, tubuhnya mulai memproduksi antibodi untuk melawan virus tersebut. Respon kekebalan tubuh ini tergantung pada apakah infeksi itu pertama kalinya atau sudah kedua kalinya. Respon Antibodi Primer terjadi pada individu yang belum pernah terkena dengue sebelumnya. Respon antibodi ini biasanya lebih lambat dan berintensitas rendah Sedangkan Respon Antibodi Sekunder terjadi pada individu yang sudah pernah terinfeksi dengue sebelumnya. Respon antibodi ini lebih cepat dan lebih kuat.
Serangan DENV pada jenis-jenis sel tertentu, seperti makrofag, monosit, dan dendritik dapat menyebabkan berbagai jenis respon imun. Sebagai contoh, dalam fase awal infeksi, sel dendritik yang terserang DENV kemudian menjadi matang dan akan bermigrasi ke nodus limfatik lokal atau regional. Di sana, sel dendritik mengekspos antigen virus kepada sel T, yang kemudian memicu respons imun seluler dan humoral. Saat sel T mendeteksi antigen virus, mereka akan menjadi aktif dan mulai berkembang biak. Ini akan memicu respons imun seluler, di mana sel T akan langsung menyerang sel-sel yang terinfeksi virus, serta respons imun humoral, di mana sel T juga akan merangsang sel B untuk memproduksi antibodi yang dapat melawan virus. Antibodi yang berperan dalam mekanisme tersebut dikenal sebagai neutralizing antibody (Guzman et al., 2010 ; Tuiskunen et al.,2013).
Pada kasus DENV, antibodi yang dihasilkan ternyata tidak selalu menjadi pertahanan tubuh terhadap virus. Terdapat suatu fenomena yang disebut dengan antibody dependent enhancmenet (ADE). Pada fenomena ADE, antibodi yang dihasilkan dari infeksi pertama tidak cukup kuat unttuk melindungi tubuh dan justru akan memperparah infeksi berikutnya. Antibodi tersebut bahkan dapat memfasilitasi atauu seolah-olah membawa virus masuk ke dalam sel inang yang kemudian dapat menyebabkan kerusakan dan memperburuk respons imun tubuh terhadap virus tersebut. Biasanya fenomena ADE terjadi ketika virus menyerang sel-sel makrofag dan monosit karena mereka memiliki reseptor yang memungkinkan mereka untuk menangkap kompleks imun yang terbentuk antara virus dan antibodi. Penyebab ADE masih belum diketahu secara pasti, namun perbedaan serotipe DENV diduga dapat menyebabkan fenomena tersebut. Karena setiap serotipe virus dengue memiliki sedikit perbedaan dalam struktur proteinnya, antibodi yang dihasilkan oleh satu serotipe mungkin tidak sepenuhnya efektif dalam mengikat dan menetralisir virus dari serotipe yang berbeda dan justru malah mempermudahnya untuk masuk ke dalam sel (Tuiskunen et al.,2013).
Pada tahun 2016 di Filipina, terjadi kasus di mana sekitar 800,000 anak menerima vaksin DENV. Namun, sekitar 14 dari mereka meninggal dunia setelah terinfeksi DENV. Dugaan yang muncul adalah bahwa anak-anak yang meninggal tersebut menghasilkan respon antibodi setelah vaksinasi yang tidak cukup kuat untuk melawan DENV. Kasus tersebut dihipotesiskan sebagai salah sattu fenomena ADE (IndonesiaRe., 2022).
Tidak seperti virus flavivirus lainnya seperti virus demam kuning (YFV), virus ensefalitis Jepang (JEV), dan virus ensefalitis yang ditularkan oleh kutu (TBEV), vaksin yang tersedia untuk dengue belum begitu banyak dan masih dalam tahap pengembangan. Menemukan vaksin yang efektif untuk dengue menjadi tantangan karena vaksin harus melindungi terhadap keempat serotipe virus dengue tanpa meningkatkan risiko Antibody-Dependent Enhancement (ADE). Meskipun telah dilakukan penelitian dan pengembangan vaksin selama hampir 80 tahun, dan lebih dari 25 kandidat vaksin DENV yang berbeda telah diuji dalam uji klinis selama dekade terakhir, masih sulit untuk menemukan vaksin yang memenuhi semua kriteria tersebut. Pada tahun 2022, dilaporkan bahwa telah digunakan vaksin dengue yang merupakan vaksin tetravalen atau vaksin empat komponen. Artinya, vaksin ini dirancang untuk melindungi inang terhadap keempat serotipe virus dengue yang berbeda secara bersamaan. Vaksin ini menggunakan metode "live-attenuated" yang berarti vaksin mengandung virus dengue yang telah dilemahkan secara genetik sehingga tidak menyebabkan penyakit yang parah pada individu yang divaksinasi, tetapi masih dapat merangsang sistem kekebalan tubuh untuk membentuk respons imun terhadap virus dengue (CDC ; 2022 ; Tuiskunen et al.,2013).
Dalam penelitian mengenai virus dengue, terungkap bahwa penyakit ini telah menjadi beban kesehatan global yang signifikan, terutama di daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia. Meskipun telah ada upaya untuk mengembangkan vaksin, tantangan dalam merancang vaksin yang efektif dan aman masih menjadi fokus penelitian yang mendalam. Fenomena seperti Antibody-Dependent Enhancement (ADE) menyoroti kompleksitas respons imun terhadap infeksi virus dengue, dan menekankan pentingnya memahami secara mendalam interaksi antara virus, inang, dan sistem kekebalan tubuh manusia.Selain itu, penanganan ,terapi, pengembangan obat, dan pengendalian vektor untuk mengatasi kasus demam dengue masih harus terus dilakukan. Dengan pengetahuan ini, kita dapat melanjutkan upaya untuk mengembangkan vaksin yang efektif dan memahami lebih baik cara untuk mengatasi demam dengue secara global.
REFERENSI
CDC. (2022). Dengue. https://www.cdc.gov/vaccines/vpd/dengue/index.html#print. Diakses pada 18 April 2024.
Guzman, M. G., Halstead, S. B., Artsob, H., Buchy, P., Farrar, J., Gubler, D. J., ... & Peeling, R. W. (2010). Dengue: a continuing global threat. Nature reviews microbiology, 8(Suppl 12), S7-S16.
IndonesiaRe. (2022). Fenomena Antibodi Dependent Enchanment (ADE) pada Sistem Imun. https://indonesiare.co.id/id/article/fenomena-antibody-dependent-enhancement-ade-pada-sistem-imun. Diakses pada 18 April 2024.
Long, S. S., Pickering, L. K., & Prober, C. G. (Eds.). (1997). Principles and practice of pediatric infectious diseases. Philadelphia : Saunders.
Mukhopadhyay, S., Kuhn, R. J., & Rossmann, M. G. (2005). A structural perspective of the flavivirus life cycle. Nature Reviews Microbiology, 3(1), 13-22.
Tuiskunen Bäck, A., & Lundkvist, Å. (2013). Dengue viruses–an overview. Infection ecology & epidemiology, 3(1), 19839.
WHO. (2023). Dengue – Global Situation. https://www.who.int/emergencies/disease-outbreak-news/item/2023-DON498. Diakses pada 18 April 2024.